Thursday, March 19, 2009

MENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM PERS

Rosalinda
Borneo Tribune, Pontianak

Di era reformasi salah satu tuntutan masyarakat adalah menegakkan supremasi yang menjadikan hukum sebagai panglima. Orientasi impletasi penegak hukum (law enforcement) secara tegas dan konsisten dan setiap pelanggaran harus diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku.
Itulah isu strategis yang dikupas dalam workshop aparatur berspektif pers, Sabtu (28/2), di Hotel Gajahmada Pontianak.
Sudah sepuluh tahun perjalanan reformasi, namun demokratisasi dan transparansi masih jauh dari harapan bersama. Salah satu tuntutan masyarakat bahwa agenda yang harus dilaksanakan adalah penegakkan supremasi hukum. Menegakan supremasi hukum yaitu menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi (panglima) dalam tingkah laku kehidupn masyarakat, bebangsa dan bernegara.
Artinya masyarakat kekuasaan pemerintah dan negara untuk tunnduk pada hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Menegakkan supremasi hukum adalah melaksanakan penegakan hukum secara tegas konsekuen dan konsisten dalam segala bentuk permasalahan hukum baik hukum pidana maupun hukum perdata.
Peran dan keberadaan pers dalam menegakan supermasi hukum di era reformasi. Artidjo Alkostar, dalam makalahnya mengatakan keberadaan pers sejatinya merupakan kebutuhan asasi setiap insan dan komunitas masyarakat, karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan kontrol sosial dan menyatakan pendapatnya.
Dengan demikian keberadaan pers berkorelasi dengan penegakan HAM, akan mencegah timbulnya pratik ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi dan hukum. Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan segala benntuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikakn masyarakat dan negara. Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Untuk menegakkan keadilan dan kebenaran menuju kesejahteraan umum, dan mencerdaskakn kehidupan bangsa. Dari landasan ini lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1999, terlihat bahwa keberadaan pers yang bebas, merupakan kebutuhan asasi dalam suatu negara demokrasi. Merawat demokrasi yang telah dicapai setelah Orde Baru merupakan kewajiban asasi segenap komponen bangsa.
Berdasarkan surat edaran MA tanggal 30 Desember 2008, bagi pelindungan pers, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan, bahwa inti edaran itu hanya dua alenia, yakni berupa anjuran kepada ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Alsannya karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik.
Dengan demikian meminta kesaksian ahli di bidang pers dari Dewan Pers, MA berharap akan memperolah gambaran objektif tentang ketentuan yang berhubungan UU pers. Walau sederhana, namun surat edaran ini mencerminkan prakarsa-prakarsa Dewan Pers selama ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti dan kedudukan pers sebagai tempat bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasi.
Untuk itulah peran aparat hukum dalam perselisihan pers sangat diperlukakan, menurut Bayu Wicaksono, sejak tahun 2003, tepatnya selesai perselisihan pemberitaan antara Majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, perselisihan pemberitaan marak di seantero Nusantara. Perselisihan ini adalah hukum pidana dan perdata, sehingga peran penegak hukum (Hakim, Kejaksaan dan Kepolisian) sangat vital. Mereka tidak hanya berperan dalam law enfforcement tetapi juga dalam memberikan penyadaran akan pentingnya menegakkan supremasi hukun.
Untuk itu, para penegak hukum harus mengerti benar bagaiman menempatkan pers sebagai pilar demokrasi. Sebagai konsekuensinya, penegak hukum harus menjaga kebebasan pers dengan pendekatan UU Pers dalam menyelesaikan sengketa pers. Karenanya diperlukan keahlian (skill) dan kemauan (will) serta cara pandang yang sama dalam menghadapi persoalan pers.
Menurut Bayu, ada tiga hal yang biasa terjadi dalam masalah pers. Kekerasan fisik, gugatan perdata, dan pidana. Bila sebelumnya orang lebih sering menggunakan kekerasan fisik ketika mereka berhadapan dengan pers.
”Tren kekerasan fisik naik menjelang Pemilu. Kini masyarakat lebih banyak menggunakan aparat hukum dan menggunakan aparat, untuk memojokkan pers,” kata Bayu.
Repotnya lagi, ketika membuat BAP, mekanisme hak jawab tidak dilakukan. Aparat menganggap mereka punya Protap sendiri. ”Nah, begitu sampai di pengadilan, biasanya kasus itu tak bisa dilanjutkan, karena hal itu dianggap tak lengkap,” kata Bayu.

Tuesday, March 17, 2009

Dori Mori Strowberry



DWI-02-03-09

Ku pikir tangisan malam perpisahan Dorina, sabtu malam kemarin adalah akhir kesedihanku dan kami semua atas kepulangan Dorina ke negeri asalnya, Jerman.

Ternyata itu salah, rasa sedih yang mendalam membuyarkan niatku untuk tidak menanggis ketika mengantarkannya ke bandara Supadio. Dorina memelukku begitu erat dengan linangan air mata, tangisku tak bisa kubendung, betapa aku sungguh sedih kehilangan sahabatku itu. Kesedihan yang adalah juga milik Nuris, Mathias, Eka, Catur dan Christian yang ikut mengantarkan Dorina meninggalkan Pontianak, juga semua teman-teman lain di kantorku terutama di Borneo Tribune.

Hari ini adalah saat dimana Dorina sebagai salah satu mahasiwa Bonn University yang magang di Borneo Tribune meninggalkan Pontianak, setelah 6 bulan kedatangannya, sejak oktober tahun lalu. Hubunganku dengannya begitu dekat, Dorina suka memanggilku ”Mommy” karena aku dianggapnya seperti ibu-ibu yang over protective pada anak-anaknya, alias cerewet hahaaa.., tapi dia tahu bahwa niatku baik. Perlu waktu yang tidak terlalu lama bagi kami untuk saling memahami dengan budaya dan pola hidup yang jauh berbeda, yang akhirnya mengantarkan kami pada rasa sedih mendalam takkala akan berpisah.

Dorina yang biasa ku panggil Dori Mori Strowberry itu tidak hanya istimewa buatku, tapi dia juga adalah sosok yang begitu dekat dengan Nuris yang kerap ia panggil ”Daddy”, bahkan dengan semua orang yang mengenalnya di Pontianak dia begitu berkesan. Dia gadis cantik, ”sangat ladies”, tapi jago bermain futsal, dia pribadi yang menyenangkan siapa saja. Di mataku dia seperti adikku sendiri. Aku pernah bilang padanya bahwa dia punya rumah di Pontianak, karena rumahku adalah rumahnya juga. Dan kami berjanji akan saling mengunjungi.

Subhaallah, indahnya persabahatan. Kami tidak lagi memperdebatkan perbedaan, yang kami tahu bahwa kami saling menyayangi.

Siang menjelang, Dorina menelpon sesaat setelah pesawatnya landing di Batam, ia melanjutkan perjalanannya ke Singapore untuk bertemu kakak perempuannya sebelum kembali ke Jerman, aku terlalu sensitif hari ini, rasanya ada yang hilang dari hatiku..

Bye and see you again honey,
We love you Dori Mori Strowberry…

Nice Trip


DWI-02-09

Bau lembab menyengat, aroma khas yang menguap dari dalam bumi sehabis diguyur hujan menyambut kami. Bus besar berwarna Biru itu sudah menunggu, aku dan semua penumpang bergegas keluar dari pesawat yang menerbangkan kami kembali ke Pontianak, menuju terminal kedatangan Bandara Supadio, via bus besar tadi..

Hari ini minggu pukul 5 sore, perjalanan yang begitu singkat bagiku yang berniat memanfaatkan penerbangan ini guna sekedar membuang penat, terlebih Gusti seorang teman mengajakku berbincang-bincang sepanjang penerbangan, lengkap sudah durasi 35 menit di udara ku habiskan dengan ngobrol dengan mata yang terbuka-tertutup, aku ngantuk berat.

Pukul 08.00 pagi, rombongan kami yang terdiri dari aku, Mering, Catur dan ketiga mahasiswa Bonn, Dorina, Mathias dan Cristian dengan terburu-buru mengeluarkan semua barang bawaan dan meninggalkan Nuris di dalam mobil yang menjemput kami tadi.

Setelah proses cek in selesai kami segera menuju sebuah speedboat bernama Polly 2. Suasana di pelabuhan Senghi ini hiruk pikuk, penumpang yang sibuk dengan barang bawaan, pedagang asongan yang sibuk menjajakan barang-barang jualnya dan kami yang sibuk masuk ke kapal, tampaknya waktu untuk kami tidak banyak karena kapal bersiap-siap jalan.

Aku dan rombongan berhasil menemukan tempat duduk kami, di lantai dua kapal kecil ini, tidak terlalu sulit menemukan kursi-kursi kami yang sempat diduduki beberapa orang dan segera pindah setelah kutunjukkan tiket kami, sisi kanan semua kursi nyaris diisi oleh rombongan kami, hanya kursi nomor 13 yang kosong, karena Eka salah satu anggota rombongan kami membatalkan keikutsertaannya beberapa jam dari jadwal keberangkatan.

Catur memilih kursi bersebelahan langsung dengan jendela, aku dan Mering menempati 2 kursi yang tersedia disamping kursi Catur, dan dibelakang kami 3 orang bule Jerman duduk berderat, Dorina bersiap memasang earphone menghidupkan MP3 dan novel di tangan.

“Dwi, apa ini ruang untuk VIP?” Tanya Christian padaku dalam bahasa Indonesia dengan aksen German yang kental ”Yah!” jawabku singkat. Aku mengerti arah pertanyaan Christian, sebab tiket perjalanan dengan kapal kecil ini sudah kuperlihatkan kemarin padanya, sekedar mempertegas bahwa kami berada di ruang VIP, tentu dibayangan Christian kemarin adalah VIP standart negerinya.

Tapi ternyata di matanya, semua terlalu jauh dari bayangan semula, kulihat sekeliling, mencoba menyapu ruang yang kurang lebih berukuran 4x5, barang-barang penumpang diletakkan sekenanya disetiap sudut, terlihat semraut, dekorasi bunga imitasi disekeliling ruanganpun begitu usang bahkan beberapa bunganya sudah hilang, termasuk plastik biru tua lapisan kaca yang sebagian lepas, tampaknya ulah penumpang yang ingin melihat pemandangan laut di luar jendela dengan warna aslinya. Yah, aku pikir itu juga jadi pertanyaanku sebagai orang yang baru pertama kali menggunakan speedboat ini menuju ke Ketapang.

Ku pikir rombonganku sepakat untuk tidak persoalkan seberapa VIP nya ruangan kami ini, dan kami semua tampak bersemangat menjalani pengalaman baru kami ini. Catur begitu happy melihat sungai kapuas yang terhampar di balik jendela setelah kapal kami beberapa saat meninggalkan pelabuhan. Maka saat Mering dan Christian bersiap menuju dek luar di kapal untuk menikmati pemandangan, aku pun serta. Mering tak henti2 membidik apa saja dengan kameranya, tak lama Catur bergabung dengan kami serta beberapa orang yang mungkin dengan sengaja membayar untuk dapat ikut bersama kapal ini meski duduk di luar bersama barang-barang muatan kapal.

Christian juga bersemangat, bahkan mengkhayal tentang bajak laut, yang datang menghadang kami dalam perjalanan ini, matanya berjaga-jaga di rimbunan tanaman dan ditepian sungai, “siapa tau ada orang utan” katanya, dia juga menyimak secara seksama lagu sungai kapuas yang kuajarkan kepadanya, sesekali dia ikut terutama dibagian referent…”Sungai Kapuas punye cerite, bile kite minom aeknye..”

Setelah puas menikmati pemandangan di luar, aku kembali ke dalam, Catur juga ikut kembali, sementara Christian dan Mering masih di luar. Tak lama Dorina dan Mathias gentian yang menyusul keluar. Catur mulai berteriak kecil padaku “Mbak, lapaar!” Rasanya aku sudah belanja cukup camilan, bahkan dorina juga beli buah2n, tapi Catur yang belum sempat sarapan merasa butuh makanan berat, yah dia pingin makan nasi.
Aku agak menyesal melihat adekku kelaparan begitu, kenapa tidak dipersiapkan nasi dan lauk pauknya dari tadi malam. “makan camilan dulu lah”.

Perjalanan ini sengaja kami lakukan guna memenuhi undangan Pemerintah Kabupaten Ketapang via Kepala Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga, memberi pelatihan dalam tema “PERAN MEDIA DAN TEKNOLOGI INFORMASI UNTUK INDUSTRI PARIWISATA"
Aku dengan Tribune Institute ku juga Mering dan Catur serta teman2 Bonn akan mengisi pelatihan itu dengan tugas masing2, aku dan mering memberi materi termasuk Nuris yang menyusul keesokkan harinya dengan Pesawat, dengan Borneo Tribunenya.

Hampir pukul 12 siang, seorang abk membagi-bagikan makanan kepada para penumpang, Catur melonjat kegirangan…”asik!” katanya. Dalam hati aku kasian adikku itu, tapi aku juga tersenyum melihat tingkahnya yang terlalu bersemangat menerima bungkusan nasi itu. Sedikit nasi dengan lauk potongan kecil sosis dan nugget goreng dilengkapi tumis kacang panjang yang dipotong halus…Catur begitu lahap menyantapnya.

Aku memulai membuka bungkusan nasi milikku, di samping kananku Catur memperhatikan gerak gerikku sambil tersenyum, rupanya lauk yang tak berimbang dengan jumlah nasi itu membuat Catur berharap kerelaannku membagi lauk milikku..

Kulihat teman-temanku bule ku juga asik menyantap makanan pembagian dari kapal yang kami tumpangi, tampaknya mereka juga sangat lapar, memulai perjalanan pada pukul 8 pagi memang merepotkan membagi waktu untuk sarapan. Perjalanan di tengah siang bolong di atas laut luas ini relative tenang, nyaris tanpa ombak besar tak kutemukan ada penumpang yang mabuk laut, yang tampak justru banyak penumpang yang tidur dengan pulas dibuai laut…

Tidurku cukup baik tadi malam, tak sedikitpun aku mengantuk disaat sebagian penumpang tidur, dan niat ingin menikmati perjalanan perdana menggunakan kapal kecil ini, membawaku kembali ke dek luar, ditemani Catur dan juga Mering. Ada aroma laut yang tak bosan2 ku
hirup dalam-dalam, sejenak membawaku melupakan semua beban hidup, Mering masih setia dengan kameranya dan mengabadikan semua hal yang dianggapnya menarik..

Pukul 14.30, kapal kecil ini sampai di pelabuhan Ketapang, Hiruk pikuk pelabuhan menyambut kami.. Bersambung....

Peserta Gandrung Belajar Menulis


Andry-23-02-09

Berbagai pertanyaan seputar jurnalistik maupun gaya penulisan yang baik serta professional deras mengalir. Sebut saja bagaimana membuat berita sesuai dengan rumus 5W+1H, struktur berita itu seperti apa, bagaimana cara menentukan angle berita yang baik dan menarik. Serta teknik pemotretan yang baik. Sehingga mereka bisa menghasilkan suatu karya yang baik dan bisa memjepret foto yang bisa berbicara.

Mering mencoba menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan oleh peserta. Selain menjawab pertanyaan tersebut secara spontan, dirinya juga kerap kali memberikan contoh jawaban melalui laptop miliknya yang memang terkoneksi jaringan internet dan layar monitor. Sehingga peserta bisa mendengar sekaligus mencernanya melalui screen di hadapan mereka.
Sesi dialog interaktif pun terjalin secara aktif antara pengampu dan peserta. Peserta terlihat merasa puas dengan paparan yang disampaikan para pembicara. Semoga ilmu pengetahuan yang mereka peroleh melalui pelatihan ini bermanfaat bagi dirinya dan bermanfaat terhadap proses sosialisasi beragam kekayaan potensi pariwisata di Ketapang.. Sehingga public di domestic maupun mancanegara menjadi tahu akan kekayaan potensi tersebut dan bersedia untuk hadir di Ketapang menikmati potensi wisata tersebut. Melalui goresan pena para peserta pelatihan ini.
Hari terakhir, workshop beragendakan beberapa sesi acara. Dimulai dengan 'Tribune Institute dan Kepariwisataan' yang disampaikan oleh Ketua Umum Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH, MH dengan moderator AA Mering, SH. Dilanjutkan dengan sesi 'Menulis untuk Promosi Pariwisata' yang dipaparkan oleh Direktur Tribune Institute, AA Mering dan saya sebagai moderatornya.
Setelah itu acara dilanjutkan dengan 'Study Comperative Pariwisata Manca Negara' yang dipaparkan oleh Mahasiswa Bonn University, Mathias dan Christian dan dipandu oleh Dwi Syafriyanti dan AA Mering. Kemudian dilanjutkan dengan 'Demo Fun' oleh Dorina, Dwi dan Mering. Dan yang terakhir adalah penutupan Workshop bertema 'Peran Media dan Teknologi Informasi untuk Industri Pariwisata Ketapang, oleh Kepala Disbudpar Ketapang, Yudo Sudarto, SP.M.Si.

Bahasa Jerman di Untan International Office


Iwan Siswanto-20-02-09

Tim Borneo Tribune dan Tribune Institute yang tampil adalah Pemimpin Redaksi H Nur Iskandar, Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, A. Alexander Mering, dan ketiga praktikan tersebut. Dari Untan, pemimpin International Office, Elfira dan stafnya Eka dan Sutarmadji.

Ketiga lembaga berkumpul di Untan untuk membicarakan sketsa MoU itu yang sejak rapat pertama pada Januari sudah disiapkan oleh Pak Elfira dan Tribune Institute. Perjanjian itu diharapkan untuk menjalankan kerja sama semua partai tersebut di atas. Di antara lain ada tujuan pertukaran mahasiswa, dosen dan staf, termasuk juga penelitihan serta publikasi bersama-sama.
Kami mahasiswa-mahasiswi dari Bonn sangat senang dengan pendirian hubungan formal dengan partai Untan pula, karena begitu ini kami boleh memakai perpustakaan Untan untuk menelitih dan mencari dosen dan mahasiswa-mahasiswi Untan yang memeriksa topik yang sama dengan topik ketertarikan kami.
Tiba-tiba pada rapat hari Rabu itu ada dua orang Indonesia yang masuk ke ruang kumpulan yang sangat menggembirakan kami praktikan dengan berbahasa Jerman yang sudah lancar. Pak Eka dan Pak Kurniawan selama sekitar 5 tahun kuliah di Jerman, satu di Freiberg dekat Dresden di Jerman Timur, dan satu di Aachen yang tidak jauh dari Köln dan Bonn di Jerman Barat. Sebab itu banyak bahasa Jerman dipakai di salah satu ruangan Untan.
Inilah keadaan yang dulu aneh sekali untuk kami, karena sampai sekarang bahasa Jerman belum pernah dipakai dengan orang Indonesia. Juga pemimpin International Office yang masih baru senang sekali dengan situasi ini. Bersama-sama kami tertawa ketika Dorina bertanya apa yang paling disukai mereka di Jerman, jawabannya: Oktoberfest - perayaan bir besar itu yang terjadi pada setiap bulan Oktober di München!
Kumpulan berikutnya telah ditetapkan di bawah atap Untan International Office berupa informal pada tanggal 27 Februari. Kami praktikan dari Jerman menanti-nantikan pertemuan tersebut untuk asyik bisa berbahasa Jerman dengan orang Indonesia lagi.

Monday, March 16, 2009

Pelajaran Yang Baru Dimulai


Dwi

Menjelang pagi, sesaat setelah beranjak dari tempat tidur, yang pertama kuingat adalah gelas plastik bekas minuman mineral yang di dalamnya terdapat bibit tanaman, dimana gerangan tanaman yang baru kukenal bernama sarang semut itu kuletakkan. Oh, rupakan ada yang memindahkannya ke dalam tong sampah, dengan tergopoh-gopoh ibuku yang penuh kasih itu memperlihatkan gelas platik yang kumaksud,

”ini kah yang mbak maksud?” bibit tanaman itu masih ada, syukurlah rupanya sempat disangka sampah oleh ibuku, ”iya” jawabku selembut mungkin pada bunda yang telah melahirkanku itu.
Tanaman herbal bernama Sarang semut atau bahasa latinnya Myrmecodi Pendans itu, untuk pertama kali ku lihat di kebun yang terletak di belakang rumah kediaman Pak Florus, beliau adalah guru tempat kami bertanya, tentu saja bibit yang kumasukan dalam gelas plastik itu adalah pemberiannya, kebun itu tidak terlalu luas tapi terdapat aneka tanamanan di dalamnya, dari mulai cabe sampai dengan pohon hutan seperti buah pekawai sejenis durian, dan yang paling menarik adalah gazebo kecil dengan kolam ikan di bawahnya.
Gazebo itu biasa kami pergunakan untuk bertemu dan berbincang dalam rangka mengembangkan lembaga yang kami mimpikan menjadi besar dan berguna buat semua orang, ada sensasi unik saat asik berdiskusi tiba-tiba ikan di kolam berenang liar dan sesekali melompat ke permukaan kolam, suaranya indah, simponi alam…
Suatu hari pak Florus menyuguhkan minuman yang berasal dari rebusan akar tanaman bernama sarang semut, yang menurutnya berkhasiat untuk menghindari dan mengobati banyak penyakit termasuk efek lain berupa kesegaran tubuh, tidak ada yang istimewa dari rasanya, sedikit kelat tapi benar-benar terasa segar sesaat setelah meneguknya, tanaman yang dipergunakan sebagai sarang semut ini di dalamnya terdiri dari labium yang digunakan semut sebagai liang untuk melakukan aktivitasnya, dan aku tertarik untuk menanamnya dirumahku.
Maka dipagi ini, sembari berbincang dengan ibuku yang tengah mempersiapkan sarapan kumasukkan kayu-kayu hancur sebagai media tempat bibit sarang semut tadi, Pak florus berpesan bahwa medianya memang potongan kayu kecil, dan pertumbuhannya cukup lama, paling tidak butuh waktu lima tahun untuk bisa mengambil manfaatnya.
Dari beberapa referensi diketahui bahwa secara empiris sarang semut dapat menyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, seperti kanker dan tumor, asam urat, jantung koroner, wasir, tbc, migrant, rematik dan leukemia dan menurut penelitian ahli Bioteknologi LIPI, Zat Utama yang dimiliki sarang semut adalah lavonoid, tannim dan olifenol.
Memasukkan potongan kayu sembari menanam bibit sarang semut ke dalam wadah yang ku buat dari gelas plastik sisa dari ulang tahun adekku catur dua tahun lalu membawa pikiranku ke beberapa tahun yang lalu, saat smp/sma aku hobby menanam berbagai jenis umbi-umbian seperti singkong atau ubi rambat di tanah kosong yang terletak di sebelah rumah kami.
Sekalipun tanpa kemampuan teori bertani, pada saat memulai menanam aku tak tanggung-tanggung menggolah tanah dengan mencanggul terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan menanami umbi-umbian. Dalam baru 1 atau 2 bulan aku sudah sangat ingin panen, tak jarang aku menggali jika ada umbi yang terkadang nonggol sedikit kepermukaan tanah, padahal umbi itu masih sangat kecil belum saatnya dipanen, dan kisah ini begitu lekat di benak ibuku yang sering diungkapkannya untuk berkisah tentang ketidak-sabaranku memperoleh hasil dari kerja kerasku di kebun kecil itu. Padahal saat panen tiba tentunya sangat menyenangkan karena semuanya memang sudah waktunya, ini pastilah soal kesabaran untuk menunggu.
Maka saatku rapikan bibit sarang semut ini, mungkin ada baiknya kujadikan langkah awal yang baik untukku belajar tentang kesabaran, bersabar untuk memeliharanya dan menunggunya besar dengan sempurna agar hasilnya dapat ku ambil secara sempurna pula, sekalipun harus menunggu lima tahun, dan ini pastilah soal kesabaran untuk menunggu. Aku tersenyum, betapa luas jagat raya ini, betapa berhamparan pelajaran tentang kebaikan yang bisa diambil. Dan pagi ini telah mengajariku bahwa kesabaran dalam hal apapun senantiasa dibutuhkan bahkan tuhanpun beserta orang-orang yang sabar.

CATATAN YANG TERTUNDA

Dwi

Dengan bangga Nuris memperlihatkan sebuah gorden yang tergantung di balik sebuah jendela besar. Ukuran kain warna pink tanpa motif itu ternyata tidak lebih panjang dari jendelanya, gordennya pendek!
”ini gordennya kependekan, mbak Dwi...”
Tiba-tiba ada sesuatu yang tak terbendung, bening, mengalir...
Mering dan Nuris diam, suasana hening***


Ini adalah sepotong kisah yang ingin kutulis setahun yang lalu, tentang suatu siang di ruko milik pak Wito di jalan Gajah Mada Pontianak, tepatnya pasar Flamboyan, ”tradisional market”, kata Dorina sahabat Jermanku.
Layaknya sebuah pasar tradisional, pasar ini menyediakan hampir semua kebutuhan hidup, sebut saja sembako, sayur mayur, ikan, udang, daging, ayam, tahu-tempe, buah-buahan, tak terkecuali panganan tradisional dengan mudah didapat.
Bahkan dari jenis panganan tradisional itu dengan mudah kita dapat menebak bahwa Pontianak dihuni oleh penduduknya yang heterogen, ada kue cucur kesukaan ibuku yang biasanya dibuat dan jual orang Madura, ada lemang kesukaan ibuku juga yang kebanyakan dijual orang Melayu, atau air tahu kesukaan adekku Catur yang dijual orang China serta banyak lagi panganan lain.
Dan becek disepanjang lorong yang menjadi pemisah lapak atau kios para penjual menegaskan bahwa ini adalah pasar rakyat. Kecuali ruko ini, karena berada tepat ditepi jalan Gajah Mada.
Yah, itu dulu adalah kantor pemasaran Harian Borneo Tribune, dan dengan alasan tertentu sekarang ruko itu tak lagi difungsikan untuk kantor pemasaran.
Menaiki tangga dari lantai dasar ke lantai berikutnya tidaklah sulit buatku. Pimred Borneo Tribune itu memanduku menuju salah satu ruangan yang berhadapan langsung dengan jalan Gajah Mada, Mering mengiringi di belakang...
Ada 2 buah meja dengan masing-masing kursi, posisinya berhadapan tapi agak menyerong. Di atas salah satu meja terdapat beberapa lembar kertas, Nuris menghidupkan kipas angin meredakan udara yang terasa begitu panas. Kuhamparkan pandangaku ke segala sudut ruangan yang berukuran tak kurang dari 3x4m itu.
Nuris menyentuh sebuah gorden berwarna pink yang berada di depan kaca jendela nako yang cukup besar itu, Nuris memperlihatkan usahanya menghidupkan suasana kantor dengan gorden yang mungkin dibawanya dari rumah itu.
”Ini gordennya kependekan mbak Wie..” ujar Nuris sambil tersenyum.
Karena memang untuk ukuran jendela yang panjang dan lebar di ruko ini, maka gorden itu masih menyisakan jarak sekitar 20cm bagian bawahnya, yang membuat celah tersendiri, tidak tertutupi karena memang gordennya kependekan.
Tiba-tiba air mataku mengalir, aku merasa sangat amat terharu dengan apa yang dilakukan sahabatku ini, gorden itu hanya contoh sederhana yang begitu mengena rasaku, karena sungguh tidak lah mudah membangun semangat bagi kawan-kawan lain atau mempertahankan semangat yang pernah ada bagi keberadaan sebuah koran harian yang baru didirikan “5 Enggang”.
Gorden kependekan itu adalah bukti kawan-kawanku ini berjuang keras ingin bangkit dan maju wujudkan mimpi, ia bukan hal penting tapi ia adalah bukti perjalanan.
Aku bersyukur bahwa sampai hari ini aku masih bersama mereka, aku ingin jadi saksi perjalanan sebuah sejarah besar yang tengah diukir di bumi borneo ini oleh Nuris, Mering, Dek, Tanto, Yus, Muklis, Budi, Aulia, Ukan, Maya, Hesty, Lina, Yanti, Pak Agus dan yang lainnya, terlebih Pak Suwito, supporter sejati..
GOOD LUCK all of U Guy….

Nonton Film Mr.Bond

Dwi
PR Narrative Reporting)

Mobil Avanza merah bernomor polisi 51 TI ini bergerak maju menuju keluar pelataran parkir mal A.yani, malam itu hampir pukul 22.00. Aku, adekku Catur, Mbak Andi serta ketiga mahasiswa Bonn University Dorina, Sina dan Mathias masih asik berdiskusi soal film James Bond yang baru saja kami saksikan dan tanggal 7 November yang lalu adalah kali pertama film tersebut dapat disaksikan di layar 21.

Nur Is sang pemilik mobil menyerahkan uang 2 lembar ribuan yang diserahkannya pada seorang petugas parkir, tak lama portal yang menghadang tepat di depan mobil yang kami tumpangi tersebut terbuka lebar.

Hiruk pikuk serta lalu lalang kendaraan di jalur utama kota Pontianak yang berada tepat di depan mal terbesar di Pontianak tersebut menyambut kami, dalam hitungan detik kami sudah menjadi bagian dalam keramaian kota di malam sabtu itu.
Mendahulukan film kesayangan yang diputar pada pukul 18.45 wib itu, membuat kami semua menunda makan malam, dan panggilan alam dengan rasa lapar memang tidak dapat ditunda lagi.

Bebek oh Bebek
Warung Cak Rempu tertulis di sebuah spanduk, biasanya warung itu mangkal tepat di depan sebuah rumah mewah milik mantan pejabat yang sudah tidak terawat, cat putih yang mendominsi rumah itu sudah berubah menjadi kehitam-hitaman, sekalipun demikian makan di warung bertenda tepat di sebagian halaman rumah mewah tak terurus itu terasa begitu nikmat, menu andalan tentu saja aneka pecel; ada pecel lele, pecel burung, pecel ayam pecel bebek dan soto yang sangat ‘makyus’ rasanya, dan tidak jarang warung itu menjadi tempat lahirnya ide-ide aku dan sahabat-sahabatku yang biasa menjadikannya tempat diskusi dalam soal apapun terutama soal Koran kami dan kegiatan-kegiatan Tribune Institute sampai tengah malam.
Tapi dalam beberapa bulan ini warung itu tiba-tiba menghilang...

Akhirnya..
Saya dan Nur Is berdiskusi soal dimana kami akan makan, dan seperti biasa sekalipun warung pecel lele yang menjadi langganan kami dalam beberapa bulan ini menghilang, tetap menjadi tujuan kami, padahal bisa saja kami menemukan warung pecel lele yang lain, tapi dengan alasan terlanjur jatuh cinta kami mau warung pecel lele itu.

Dengan rasa penasaran dan kerinduan pada bebek goreng favoritku itu kami menyusuri jalan tempat dimana warung pecel lele itu mangkal, mobil yang dikemudikan Nur Is bergerak lamban, dan kami belum menemukannya, “ hi lihat itu di belakang ada warung pecel lele “ adikku catur mencoba memecah kebingunga kami semua.

Akhirnya, pencarian berbulan-bulan itu membuahkan hasil, warung pecel lele itu dapat kutemukan, pemiliknya sama, masih dikawasan yang sama tapi berjarak hampir 300 meter ke arah Timur dari tempat sebelumnya. Berada di depan tanah kosong, di samping rumah mewah berwarna kuning. Sang pemilik warung beserta anak buahnya tersenyum manis pada kami, karena aku, catur dan Nur Is adalah langganan setia ”ini malam pertama kami buka kembali mbak”. ”Kenapa pindah?” tanyaku. Pemilik warung menjawab ”Rumah di situ sudah dikontrak orang mbak”.

Senyum manis sang pemilik warung, tak dapat menyembunyikan kegetiran bahwa dia baru saja kehilangan tempat mangkal yang sudah dikunjungi banyak pelanggan sebelumnya itu, di matanya ku tanggap bahwa dia juga tahu diri halaman rumah mewah itu bukan miliknya, sewaktu-waktu dia harus pergi.
Kami makan, melepas kerinduanku pada pecel bebek dan membebaskan kami semua dari rasa lapar. Malam makin larut, mungkin kurang dari setengah jam waktu eksekusinya Amrozi Cs 00.15, maka kami pun bergegas pulang dan kembali ke rumah untuk beristirahat.

Di perjalanan aku bertanya dalam hati, akan ku cari kemanakah lagi nanti warung pecel itu bila sewaktu-waktu pemilik tanah memanfaatkan miliknya, karena warung itu berdiri di pinggir jalan tepat di depan tanah kosong dan di samping rumah mewah berwarna kuning itu, tapi pikirku bahwa andai James Bond pun sempat mencicipi bebek goreng favoritku itu, dia akan senang hati datang dari London sana untuk membantuku menyelidiki ”hilangnya warung bebek gorengku....”.

NEVER GIVE UP I

Dwi-08-08

PR Narrative Reporting)

Dalam 3 bulan terakhir, aktivitas Eka tidaklah biasa.
Dia sangat rajin belajar, hampir semua materi hukum coba untuk digaulinya.

Pemilik tubuh gempal, kulit kuning terang, dan mata yang nyaris membentuk garis meski hanya dengan tersenyum itu, sesekali merapikan rambut depannya yang lebih tipis dari bagian lain begitu berapi-api.
Berdiskusi dengan siapa saja di kantor kami, mencoba lagi ujian Advokat pada tanggal 6 Desember mendatang.

Anak bungsu yang punya saudara kembar tidak identik ini bercita-cita menjadi lawyer, profesi yang lebih dulu ditekuni sang abang.
”Eka akan lebih hebat dari bang Wito..!”
ujarnya sambil meraih botol air mineral dan perlahan memindahkan isinya ke dalam tenggorokan, kontradiksi sekali dengan minuman sahabat-sahabat Jermanku tadi malam.

Obrolan Dorina dan Sina atau bunyi musik yang mengaung terasa memekakan telinga di cafe yang berada di lantai teratas PCC itu, tak mampu memenangi suara lantang Eka tepat ditelingaku,
”Eka pasti lulus, untuk Ujian yang keempat kalinya ini..!”

bersambung...

Laptop in Memoriam

By A. Alexander Mering

Sebuah Mobil kijang silver berhenti persis di belokan pertama, depan Bandara Supadio Pontianak. Mesinnya tak dipadamkan.
Berri tak bergeming di belakang setir. Berri bukan supir, dia advokat pada kantor Suwito & Associates. Sebuah kantor advokat cukup beken di Kota Pontianak. Tapi siang itu ia membantu kami menjadi driver.
Pintu samping terbuka. Aku Andreas Harsono dan Dwi Syafriyanti bergegas turun

“Jangan bergerak dulu ya, kami akan mengangkat barang”.
”Oke”.
”Ingat ya, jangan jalankan mobil, ada laptop saya di kursi.”
Aku buru-buru mengangkat ransel Andreas Harsono dari belakang jok belakang. Sebentar lagi dia harus terbang ke Jakarta. Andreas adalah pengampu jurnalistik di Pantau Foundation dan salah satu jurnalis yang diperhitungkan di republik ini. Beberapa jurnalis menganggap Andreas keras kepala dan keterlaluan, bahkan Junaini KS, Pimred Harian Equator Pontianak pernah menyebutnya lebih Amerika dari pada Amerika. Aku pernah bekerja di koran yang dipimpin Junaini. Tetapi aku tak peduli penilaian orang. Bagiku Andreas adalah penemu bakat, dia sudah mengajar banyak wartawan—di negeri tanpa nabi yang begitu bangga menyebut dirinya Indonesia ini—bagaimana menghasilkan karya jurnalistik bermutu. Andreas sangat percaya karya jurnalistik yang bagus dapat mengubah dunia.
Andreas menenteng kardus berisi oleh-oleh, bekal sang mertua. Ada langsat punggur, chencalok kesukaan Safariah dan lain sebagainnya. Safariah adalah istri Andreas. Beban tampaknya sangat berat. Tangan lain, mengamit tas berisi Lumpia yang baru dibelinya di sebuah toko roti, Jalan Gajah Mada.
”Norman sangat suka Lumpia Pontianak,” katanya saat kami membelinya tadi.
Dia bergegas ke pintu masuk, check in. Andreas ke Pontianak untuk memberikan workshop Narrative Reporting untuk Pontianak 10-14 November di Hotel Peony Pontianak. Pantau dan Tribune Institute menggagas kegiatan ini. FLEGT-Support Project menjadi sponsornya.
Dwi bergegas menyusul Andreas. Berri masih di belakang stir sambil mengawasi kami mengangangkat barang.
”Jangan bergerak dulu ya...!”
Tapi baru beberapa langkah aku menuju peron, Berri pun menginjak pedal gas. Belum sempat sempurna, mobil batuk-batuk dan mati mendadak.
Jok mobil yang sedikit menekuk ke depan ikut terayun dan Gedebug! Laptopku yang masih terbuka kena hantam. Tadi aku belum sempat menutupnya karena tangan penuh barang, jok mobil memang belum disandarkan ke posisi semula.
Aku hampir menjerit. Berri pula hanya nenyengir kuda. Aku ke mobil setengah berlari, memeriksa laptop yang tadi masih menyala. Aku belum menyimpannya ke dalam tas, karena sepanjang jalan aku mengedit berita halaman 12 koran Borneo Tribune, sebab sudah di ambang deadline. Internet juga masih terpasang karena sedang mengirim berita editing tadi ke kantor redaksi via email. HP Sony Ericson yang kujadikan modem, kuletakkan di atas keyboard laptop.
”Alamak..., kan udah kubilang jangan bergerak!”
Suaraku tercekat di tenggorokan, tungkaiku lunglai saat lipatan laptop terbuka.
Screen retak 4 bagian. Tengah layar menyisakan bulatan hitam dengan garis-garis vertikal seperti benang berwarna.
”Bher, tadi aku sudah ingatkan jangan bergerak, sekarang lihat akibatnya...”.
”Maaf, aku tidak tahu...., maaf.”
”Oke..., tak apa, tak apa”.
Aku tiba-tiba merasa sangat lelah. Ada sedih, getir dan kecewa tertelan bersama-sama. Aku menyesal karena membiarkan saja laptop tak terjaga. Marah, karena tak mungkin marah pada Berri karena keteledorannya. Aku yang lalai. Sedih karena laptop Laptop Asus Ee PC mungil ini telah menemaniku sampai ke pelosok Kalimantan. Hutan, gunung dan ngarai sudah kami jelajah bersama dalam beberapa kali pengembaraan. Bahkan hingga ke puncak Bukit Sarung Sampuro yang dikeramatkan. Selain bukit Bawang dan yang lainnya, Sarukng Sampuro adalah bukit ketiga yang selalu dilafazkan pemantra, kala sub etnik Dayak Salako nyangahatn dalam sebuah ritual adat kepercayaan. Bukit ini terletak di Kecamatan Mempawah Hulu.
Aku juga pernah mengirim berita dengan laptop ini di tengah sawah, di Cap Kala, Kabupaten Bengkayang.
Ohya, warna telur asinnya kerap membuat beberapa rekan wanita gemas. Tak terkecuali Dorina, mahasiswi Bonn University yang sedang magang di Borneo Tribune. Bentuknya mungil, dirancang khusus bagi para traveler. Praktis dibawa, bahkan suatu hari aku pernah menyelipkannya di balik jaket saat naik motor. Biasanya kubalut dengan slayer bendera Jepang.
”Wah, itu pusaka samurai Jepang ya,” ledek seorang teman. Aku cuek saja, tapi diam-diam bangga mendekapnya karena bersejarah.
Memang tak secanggih generasi kedua. Selain tak dilengkapi web came, memorynya pun sangat miskin, Cuma 2 GB. Aku pun terpaksa membeli hardisk Eksternal 250 GB setelah menabung 5 bulan. Aku senang dan berusaha menjaganya dengan baik. Seminggu sekali aku sapu dengan cleaning foam, untuk membuang daki. Soal akses internet, asalkan ada signal Telkomsel, pasti tockcer! Agak lambat dikit, tetapi lumayanlah untuk kategori layanan telkomselflas unlimited. Cukuplah untuk sekadar buka-tutup email dan mengirim berita serta foto ke kantor redaksi dari jarak jauh.
Seorang wartawan pernah kutepis tangannya karena akan menyentuh laptop itu dengan tangan belepotan minyak bakwan. Aku bahkan sanggup menanti hujan reda, asalkan dia tidak lembab, apalagi basah. Karena itu accident ini seperti sebuah pukulan. Sakit! Tak saja aku telah merasa kehilangan, seolah-olah tanganku sendirilah yang terkulai, menjuntai-juntai tanpa arah. Tangan yang kehilangan tempat mengukir ide dan sekadar kisah.
Penyelenggaraan Workhsop Narrative Reporting yang sukses, ternyata harus kubayar dengan kerusakan laptop! Kesedihanku semakin sempurna ketika suatu pagi aku menerima SMS Freddy Hernawan.
”Maaf, bang, aku sdah tnya sna-sini, screen laptop abg tk dapat diganti”.
Lama aku tercenung. Laptop kecilku tak tertolong lagi. Haruskah aku memahat nisanmu di sini. RIP: ASUS EePC, 15 November 2009.

MUSEUM DAN NEWSEUM

Nuris

“Apa jadwal kita Minggu depan?”
“Saya mau ke Rumah Betang dan Museum,” ungkap Mathias Waldmayer.
“Ke…Temajo Island,” sambung Dorina Luise Schulte.
“Mmm, saya mau ke perkebunan sawit,” jawab Sina Gil Mandelich di hadapan rapat evaluasi mingguan program magang mahasiswa-mahasiswi Bonn University di Borneo Tribune serta Tribune Institute akhir pekan lalu. Saya dan Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti tekun mendengarkan. Dwi mencatat poin-poin penting.
Turut dicatat oleh Dwi yang juga advokat di Suwito Associates ini keinginan Mathias dkk untuk belajar Bahasa Indonesia di Kampus FKIP Untan hingga kunjungan ke Taman Nasional Gunung Palung di Ketapang maupun Taman Nasional Danau Sentarum serta Betung Kerihun di Uncak Kapuas, Kapuas Hulu

Hati saya tentu saja bangga karena biasanya kita yang ingin belajar Bahasa Inggris, tapi ini jauh-jauh dari Eropa mereka yang kepincut ingin belajar Bahasa Indonesia dari penutur langsung Bahasa Indonesia. Mereka juga ingin merasakan sendiri betapa eksotiknya zambrut khatulistiwa dengan flora, fauna dan budaya masyarakatnya.
Mathias, Dorina dan Sina adalah tiga dari enam orang civitas akademika Bonn yang telah tiba untuk internship programe di media Tribune periode enam bulan sepanjang 2008-2009. Kerjasama dalam lingkup Studi Asia ini akan terus berlanjut secara teknis pragmatis media serta akademik ke tingkat Studi Asia hingga 2010.
“Apalah yang bisa saya tunjukkan dari keinginan pertama ke Rumah Betang dan Museum Negeri Pontianak?” pikir saya dalam hati.
Kondisi gedung, artefak, diorama, brosur, hasil-hasil kerajinan yang bisa diperjual-belikan hingga petugas pelayanan tamu di kita sangat terbatas. Saya merasa minder jika membandingkan dengan pranata dan penataan museum di negara-negara maju seperti Eropa atau Amerika.
Saya teringat ketika mengunjungi Smithsonian Museum di kawasan Mall antara Gedung Putih dan Capitol Hill di Washington DC tahun 2004. Museum di sana ditata gila-gilaan. Dari sisi artistik gedungnya sangat scientific dan bahkan ada museum khusus ilmu pengetahuan alias Museum of Science. Dari mulai cara masuknya, alur ruang yang dikunjungi untuk melihat pajangan-pajangannya amat luar biasa. Tak jarang dilengkapi audio-visual serta teater tiga dimensi.
“Pantas anak-anak di negara maju ini pinter-pinter. Mereka bisa belajar rumus matematika cukup ke museum saja. Sebab, sekali tekan tombol di panel komputer di hadapan foto Archimedes atau Pascal misalnya, maka akan keluar penjelasan yang sistematis, lengkap dengan tampilan rumus, contoh soal dan sejarah hidup si ilmuan.” Sungguh menggelorakan semangat belajar. Sungguh kita ke museum bisa belajar sambil bermain-main. Bisa belajar sambil berwisata. Bahasa kerennya wisata ilmiah. Wisata sejarah.
Itu baru dari sisi tata bangunan dan fasilitas. Dilihat dari sisi luas areal, mereka juga gila-gilaan. Ibarat satu kampung dijadikan museum. Saya tak cukup seharian hanya mengunjungi satu museum, padahal masih banyak museum-museum lain yang tak kalah menarik. Sebutlah museum botani, museum antariksa, hingga museum lilin.
Museum di negara maju sudah dikelola dengan amat sangat profesional. Di papan pengumumannya ada agenda tahunan yang padat, meliputi kajian, lomba, seminar dll. Amat sangat padatnya sehingga menarik dikunjungi jutaan orang saban tahun. Beda di kita yang museum ibarat kuburan. Hanya tempat menyimpan rangka-rangka tua. Tempat menyimpan cerita peradaban masa lalu dan tak urung kita berseloroh, “Wah awak nih udah tua, udah layak dimuseumkan…”
Saya tercenung dan melayang-layang di hati dan pikiran. Bukan karena takut dimuseumkan, tapi program harus berjalan.
“Bagaimana menurut kamu Museum Negeri Pontianak?” tanya saya kepada Mathias setelah dia sejak pagi sampai siang di suatu hari mengunjungi gedung yang lokasinya tak jauh dari Rumah Betang dan Rumah Dinas Gubernur Kalbar.
“Wow bagus sekali. Saya puas, hanya…hanya saya tak melihat penjelasan yang lengkap tentang rumah betang,” ungkapnya.
Mathias juga mengaku heran mengapa penjelasan yang ditera di dinding tentang setiap artefak tidak dibuat juga berbahasa Inggris. Dengan demikian bisa memberi penjelasan lebih lengkap kepada para bule. “Bukan cuma saya yang menuliskan itu di buku tamu, tapi bule-bule lain juga. Tapi mengapa ya tak dibuat?” kata Mathias.
Kami yang mendengar mengangkat bahu. Rasanya tak mau saling salah menyalahkan. Itu sudah lagu lama. Lagu lama yang diputar ulang. Lagu lama yang layak dimuseumkan.
Kembali ke meja rapat evaluasi akhir pekan, khususnya dalam English Day on Tribune yang digarap bareng bersama English Student Association kami tak mau berpangku tangan. Kami ambil inisiatif untuk membuat usul-usul si bule yang positif membumi.
Kami akan mewujudkan sinergi berita (news) dengan sejarah (museum). Kami akan wujudkan museum dalam newseum.
Kami bayangkan kelak, kerja-kerja positif awak media juga layak dibuatkan artefak khusus newseum. Apakah itu perangkat keras, karya tulis dan media yang pernah ada di Kalbar, sejak dahulu kala hingga di zaman mutakhir ini.
Newseum ini barangkali akan menjadi tempat yang menarik untuk melihat sejarah dan peradaban media di suatu daerah. Maybee.

MEMBERI HAK PADA HATI (NEVER GIVE UP II)

Dwi-mingggu pertama Januari

Sabtu pekan ini, di pagi hari aku tercegang melihat kenyataan bahwa beberapa orang temanku yang digadang-gadang menjadi advokat tahun ini kembali menelan kekecewaan, 4 kali pengalaman ikut ujian advokat tidak mampu mengantar mereka untuk lulus. Tentu saja kekecewaan ini tidak hanya milik mereka, tapi milik kami di kantor dan milikku juga yang berusaha menyemangati mereka selama ini.

Dan sabtu pekan ini, selepas magrib aku ingin meloncat setinggi yang kubisa, aku begitu bahagia karena sahabatku, Ambo baru saja menyelesai ujian tesisnya dia bilang seperti baru melahirkan anak, ”legaaaa.. minta ampun..” tambahnya dengan tawanya yang paling renyah. Yah, tentu saja kebahagian dan kelegaan itu tidak hanya milik Ambo semata, tapi juga milik kami di kantor dan milikku juga sebagai sahabat dan teman kuliah, kami masuk pada tahun yang sama beberapa tahun yang lalu dan aku selesai lebih dulu. Dan sekarang tidak penting soal itu, yang penting kami bahagia...

Itulah 2 hal yang sungguh bertolak belakang terutama pada tataran rasa, Subhaallah 2 rasa yang datang dalam 1 hari. Sebagian orang mungkin menganggap ini biasa, tapi buatku ini sungguh luar biasa, tak kala 2 rasa yang berbeda mesti diterima secara bersama-sama, setidaknya buat kami dan buatku, karena buat 2 orang temanku yang tidak lulus advokat pastilah ini rasa sedih mendalam yang tidak akan terhapus begitu saja karena Ambo selesaikan S2 nya, sementara buat Ambo ini tetaplah kebahagian mendalam yang sampai hari ini terasa begitu indah, emm..menyandang gelar S2, pastinya membanggakan yang tidak begitu saja hilang hanya karena 2 orang diantara kami kembali gagal menjadi advokat. Tapi kawan aku tidaklah sedang menarikmu pada soal empati, solidaritas atau sejenisnya, tapi ini adalah soal hak menikmati rasa, rasa apapun itu.

Aku adalah saksi kegigihan 2 temanku yang belum berhasil jadi advokat itu saat ini, aku menyaksikan ke-2 nya tekun belajar, diskusi, latihan menyelesaikan contoh soal-soal ujian, dan merekapun berbekal doa restu dari semua yang mengenal mereka, lengkap sudah. Maka sungguh hak bagi mereka untuk bersedih dan kecewa apabila setelah semua yang dilakukan belum menghasilkan sesuatu yang mereka harapkan. Tapi sesungguhnya, 2 temanku itu masih memiliki kesempatan untuk kembali ikut ujian advokat pada kesempatan lain, jika memang masih bertetap hati pada keinginan semula, atau bisa saja ini langkah awal untuk menekuni bidang lain dalam hal profesi dan pekerjaan, mungkin memberi hak pada hati untuk bersedih tidaklah soal, tapi akan lebih bijak jika mencoba persempit ruang di hati untuk tidak senantiasa bersedih dan kembali menata masa depan yang sesungguhnya masih luas terbentang...

Dan aku adalah saksi kegigihan serta ketekunan Ambo menempuh kuliahnya di Program Magister Ilmu Hukum Untan. Kami ber2 adalah sahabat yang saling memberi dan menerima, saling mengisi dan mengasihi baik di kantor atau di kampus. Kami ber2 pun adalah orang-orang yang belajar menghargai ilmu pengetahuan, buat kami pergi kuliah tidak hanya memenuhi persentase daftar hadir, yang terpenting adalah mencari ilmu pengetahuan dan menjadi orang yang berguna dan bermanfaat karena itu adalah tujuan sederhana kami. Dan sekarang, saat Ambo berhasil menyelesaikan kuliah dan tesisnya tentu saja Ambo pantas mendapatkannya, itulah hasil perjuangan yang menyenangkan, tentu memberi hak pada hati untuk berbahagia tidaklah soal, tapi akan lebih bijak jika melanjutnya pada rasa bahwa ilmu pengetahuan adalah cara mengapai kebaikan demi kebaikan dalam hidup.

Maka buat 2 kawan yang belum berhasil jadi advokat, majulah terus..jangan berhenti berharap, semoga Tuhan sudi kiranya memeluk harapan kalian.
Dan buat sahabatku Ambo selamat atas gelar baru, sejatinya ilmu adalah amanah sobat, selamat berjuang...

Dan ketika semua rasa telah memperoleh haknya untuk bersemayam di hati, maka tinggal kita yang senantiasa berlaku adil pada kewajiban untuk bisa mengolahnya menjadi hal yang memperkaya batin bahwa indahnya hidup karena ia senantiasa berwarna warni..

DUNIAMU SAHABAT

Dwi-Suatu pagi dibulan Maret 2007

Setelah revisi, maka ia adalah penghormatan
untuk ”5 Enggang” di Borneo Tribune
Dan bahwa Mering adalah sahabat yang akan selalu jadi sahabat....

Tak tau apa yang memaksaku untuk menuliskan apa yang terpendam dihatiku sepagi ini bahkan untuk sikat gigipun aku enggan mendahulukannya, cukup aneh mengingat menjadi wartawan adalah bukan cita-cita yang kugantungkan di langit tinggi sana, bahkan ketika pembagian rapot kelas 3 MTsN-ku (SMP) puluhan tahun yang lalu, sembari menyerahkan rapot : “apa cita-citamu Dwi..?” tanya wali kelasku….wajah bersemu merah dan mantap aku jawab : ”saya mau jadi Pengacara Pak..” Nah..!!


Sekarang; Wartawan, Pers, apalagi kemerdekaan pers dan lain-lain menjadi semakin akrab ditelinggaku, rasanya tidak ada yang memaksaku untuk tahu semuanya itu. Belakangan aku mulai sadar, bahwa lewat profesiku sekarang yang mendekatkanku dengan dunia pers dan tidak sedikit sahabat-sahabatku dari dalam komunitas itu.

Buatku sahabat-sahabat persku itu adalah orang-orang yang luar biasa, berjuang demi idealisme profesi, pertaruhkan orang-orang tercinta bukanlah masalah gampang buat manusia jaman sekarang yang hidup senantiasa mengusung kepentingan pribadi tak hirau bahkan lupa apa itu kepentingan umum, apalagi kepentingan bangsa dan Negara….weleh-weleh…(berat lah yaoouuu…)

Berbekal keyakinan dan usaha keras (sekeras-kerasnya) sahabat-sahabatku itu mampu berdiri tegak dalam edialismenya, keberagamannya dan kebersamaannya dalam BORNEO TRIBUNE itu (yang tabah n kuat ya kawan-kawan…). Dan Mr. Mering adalah pembakar terbesar semangatku tu belajar menulis dan dia adalah temen dikusi yang menyenangkan, penuh dengan ide-ide cerdas.

Saking bersemangatnya aku terhadap dunia pers, aku punya keinginan untuk menjadikan pers sebagai bahan penelitian tesisku, dan dalam berbagai kesempatan aku selalu ingin tau tentang dunia Mr. Mering baik lewat buku, perbincangan dengan teman-teman kantor, teman-teman kuliah maupun beberapa dosenku.

Dalam sebuah kesempatan kuliah aku menyampaikan pertanyaan kepada dosenku tentang persaingan antar perusahaan pers, heran., sebelum menjawab dosenku balik bertanya, “anda wartawan?” (maklumlah aku memang junior lawyer, tak heran banyak orang yang belum mengenalku) sekenanya kujawab “saya memang punya komunitas wartawan pak” tampaknya dosenku enggan menjawab pertanyaanku, ya… mungkin karena memang waktu kuliah kami beranjak diujung batas waktu perkuliahan. Dan aku tidak terlalu ingin memaksa dosenku sekalipun aku bisa melakukannya.

Pada kuliah yang sama dan dosen yang sama pula, di hari yang berbeda tentunya, aku kembali bertanya tapi bukan tentang pers, “ya’ silakan wartawan!” dosenku berujar…Nah…aku rupanya disangka wartawan. Teman-teman sekelas yang mengenalku dengan baik: “bukan pak.. dia pengacara” teman-teman kelasku menjawab seperti paduan suara ku dengar… hehe.. dosenku kaget, kebingunganku mulai memudar ketika perkuliah selesai, setiap ada kesempatan lontaran kekecewaan beliau terhadap carut marutnya dunia pers Indonesia, trial by press, orang salah bisa benar begitu juga sebaliknya oleh pers. (walau tak semuanya kayak gitu pak!)
Ooo..dosenku mengikuti dengan baik perkembangan pers kita.

Pada kesempatan lain, aku juga berbincang-bincang dengan teman kuliahku di kantorku ketika dia ingin meminjam catatan kuliahku, aku mengajak temanku yang masih sangat muda itu berdiskusi tentang niatku menulis tesis tentang pers…temanku antusias dalam diskusi kami, bahkan dengan senang hati dia berencana meminjamkanku bahan-bahan lain tentang sejarah pers di Indonesia…namun pengin tau apa yang disampaikan teman kuliahku itu sebelum dia berbincang banyak tentang proposal tesisku tadi…?? ”mbak dwi pengacara…ngapain nulis tesis tentang pers? ada banyak masalah lain yang lebih bagus katanya…..Nah…..???!! Ternyata temanku itu punya pandangan khusus terhadap pers, wartawan khususnya…”wartawan tuh ada wartawan 50rb dan wartawan 100rb mbak wi….” Wah… temanku itu terus nyerocos….bla…bla… (tapi masih banyak wartawan yang masih idealis dan pakai etika jurnalis dalam bekerja lho kawan!)
Ooo..temanku itu juga mengikuti perkembangan pers kita.

Sebagai orang asing di dunia pers, aku bercerita pengalamanku tadi dengan dosen dan temanku persku, si wartawan itu., Mr Mering. Dan dia bilang “mbak wi sih..berteman hanya dengan kami…berteman juga donk dengan yang lain….”
Wah ternyata aku yang belum mengikuti dengan baik perkembangan pers kita……...

Baiklah aku akan belajar mengikutinya dimulai dari belajar sejarahnya lewat tesis yang dibukukan oleh Wikrama Iryans Abidin berjudul Politik Hukum Pers Indonesia:

“……..Sistem politik liberal, yang memakai Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kedudukan kemerdekaan pers diakui, celakanya, kemerdekaan pers di era 1950-an cenderung menjadi terompet bagi kepentingan politik multipartai waktu itu. Pada waktu kembali ke Undang-Undang dasar 1945, beradasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga kejatuhan rezim Soekarno (1965), kemerdekaan pers kembali dibelenggu melalui Sensor dan Surat Ijin Terbit (SIT). Dialektika kemerdekaan pers itu, muncul lagi tak kala orde baru (1966) yang mencabut SIT, sensor dan pembredelan. Namun, keleluasaan itu hanya sekejap karena pada awal tahun 1970-an orde baru kembali menekan dengan Sensor, SIT dan Surat Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, mimpi tentang kemerdekaan pers kenyataan lagi. Pada era ini, kemerdekaan pers dinilai sebagai yang terbaik di Asia. Hanya saja masa emas kemerdekaan pers ini mulai memudar menjelang akhir tahun 2002, yaitu akibat adanya penyimpangan-penyimpangan praktek kemerdekaan pers dari kalangan praktisi pers itu sendiri dimana kemerdekaan pers yang semula terbelenggu berlahan menjadi kemerdekaan pers tanpa tanggungjawab, praktisi pers lepas kendali dari etika profesi dan hukum.”

Akhirnya aku harus diam sejenak guna meresapi tulisanku ini, sebelum beranjak ke kamar mandi, sikat gigi..membasuh raga..membasuh jiwa …dan dengan sepenuh hati ketika kedua tangan menengadah aku berbisik “jagalah sahabat2 pers ku itu Tuhan….

PEMBERDAYAAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT

Dwi

Pada prinsipnya kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat adat Dayak di Kalimantan Barat masih di jaga hingga saat ini, dalam penelitian yang dilakukan oleh perkumpulan PENA di Pegunungan Niut, salah satu hutan cagar alam di Kalimantan Barat berbatasan dengan Malaysia, memperlihatkan fakta bahwa hutan adalah jati diri bagi masyarakat adat, dan ketika masyarakat adat Dayak tidak mempunyai hutan maka eksistensi kedayakannya akan dipertanyakan

Lebih lanjut menurut penelitian tersebut bahwa masyarakat menyandarkan kehidupannya pada hutan dengan berladang dan berkebun, akan tetapi tidak semua areal hutan dapat dikelola oleh masyarakat, ada wilayah tertentu yang tidak diperkenankan menjadi ladang dan kebun.

Wilayah-wilayah itu adalah sepanjang aliran sungai dan di atas puncak bukit, dengan tujuan agar semua jenis kayu yang tumbuh di tepi sungai tetap ada dan dilindungi sebagai penangkal erosi maupun agar ketersediaan air bersih senantiasa ada, termasuk menjaga habitat hewan buruan agar tidak punah.

Namun keharmonisan antara alam dan manusia tersebut terancam oleh kegiatan pembangunan yang sesungguhnya bercita-cita mewujudkan kesejahteraan rakyat tersebut, terdapat ekspansi perkebunan kepala sawit secara besar-besaran di sana, masyarakat melakukan penolakkan karena lahannya digusur dan melahirkan konflik, dan proyek pembangunan bendungan yang dianggap berpotensi menenggelamkan kampung-kampung di wilayah peyanangga pengunungan Niut.

Bahwa negara berbekal amanat Undang-Undang Dasar dengan perangkat hukumnya tentu saja memiliki hak serta kewajiban melakukan pembangunan melalui memanfaatkan sumber daya alam, akan tetapi pada kenyataannya visi dan ideologi pembangunan terhadap pengelolaan sumber daya alam hanya mengepankan pertumbuhan ekonomi, perkembangan fisik dan material semata, dan menyingkirkan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal (local wisdow), yang keberadaannya justru jauh lebih dulu dari negara itu sendiri, yang terbukti mampu menjaga keseimbangan alam dengan manusia yang ada dalam kehidupan masyarakat adat setempat.

Menurut Satjipto Rahardjo, bahwa hukum sebagai kaidah atau norma sosial, tidak terlepas dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, bahkan dapat dikatakan bahwa hukum itu merupakan pencerminan dan konkritisasi daripada nilai-nilai yang suatu saat berlaku dalam masyarakat.

Bahwa pemanfaatan sumber daya alam bagi keperluan pembangunan dengan tujuan-tujuan mulia, pada prinsipnya mengakui eksistensi nilai-nilai agama, adat istiadat, dan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat yang tertuang secara ekspilisit dalam aturan-aturan hukum:

Sebut saja UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, pasal 9 ayat (1) :
”Pemerintah menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai agama, adat-adat istiadat dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”.

Atau UU No. 41 Tahun 1991 pasal 4 ayat (3):
”Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak hukum masyarakat hukum adat, seepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”.

Hal ini mencoba menegaskan bahwa sesungguhnya Kearifan Lokal yang merupakan adat dan kebiasaan yang telah mentradisi yang dilakukan sekelompok masyarakat secara turun temurun yang hingga saat ini masih terjaga tersebut telah diakomodir oleh negara, sekalipun belum terjawantahkan dengan baik.

Setidaknya jangan sampai hukum nasional menjadi beban untuk komunitas lokal, sebagaimana disertasi Dr. Bernard L. Tanya, bahwa hukum nasional itu semacam beban budaya bagi masyarakat lokal di Sumba.

SEMINAR YANG INSPIRATIF DAN BERKESAN

Dwi

Ini kali pertama, aku memasuki kawasan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Ada rasa segan. Mungkin juga sungkan. Taksi yang aku tumpangi memasuki gerbang utama. Kendaraan itu mulai bergerak lambat. Sebuah pos penjagaan berdiri tegak di sisi kiri gerbang. Tak ada petugas di sana. Hanya ada dua murid berseragam SMA. Keduanya sedang asyik berbicara

Oh, aku mulai berpikir, siapa yang harus ditanya dengan tak adanya petugas di tempat jagaAku mulai mencari. Dengan seksama, mataku memandang ke segala arah, mencoba menemukan tempat penyelenggaraan seminar. Hari itu, kebetulan jam kuliah. Tepatnya, Sabtu, jelang pukul 13.
Masih banyak mahasiswa dan mahasiswi berada di kampus. Oh, mereka pasti bisa ditanya, kataku dalam hati.
Seseorang coba kudekati. Aku bertanya, di mana tempat berlangsungnya seminar berlangsung. Ia menunjukkan satu tempat. Sebuah aula. Aku segera bergerak ke sana. Namun, aula yang ditunjuk, ternyata tak ada aktivitas. Sepi.
Model bangunan di kampus STAIN, satu bangunan dengan lainnya terpisah. Setiap bangunan terlihat spanduk dan berbagai pengumuman. Ada banyak kegiatan diumumkan lewat spanduk.
”Buatku ini benar-benar kampus, ada napas kehidupan kaum intelektual yang kurasakan di sini,” kataku dalam hati. Nah, mungkin dari spanduk-spanduk yang terpasang di beberapa bangunan itulah, aku bisa menemukan tempat seminar.
Meski agak bingung menemukan seminar diselenggarakan, tapi aku menikmati pemandangan di kampus ini. Cukup asri. Aku melihat supir taksi. Agaknya, ia mulai gelisah.
”Ntar, ya pak. Saya kurang jelas di mana tempatnya,” kataku pada supir taksi.
”Nggak apa-apa mbak. Saya tunggu,” jawabnya.
Aku menghubungi Yusriadi. Aku biasa memanggilnya Bang Yus. Ia sahabat yang menyenangkan. Pintar dan rendah hati. Dia redaktur di Borneo Tribune. Juga, dosen di STAIN. Kebetulan, ia menjadi panitia seminar yang mengundangku, untuk jadi salah satu pembicara. Seminar itu diselenggarakan Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), FLEGT Support Project, Departemen Kehutanan dan STAIN Pontianak.
Suara di seberang telepon menjawab pertanyaanku. ”Bangunan yang berada di tengah-tengah itu. Yang ada kubahnya itu, mbak Dwi,” kata Yusriadi.
Aku mulai mencari. Ah, itu dia. Spanduk di samping kiri bangunan itu, menyakinkanku bahwa tempat itulah yang menjadi pelaksanaan kegiatan seminar.
Selepas Nardi, supir taksi langganan pergi, aku melihat dua mahasiswi berjilbab sedang membaca sebuah pengumuman di papan dekat anak tangga. Tangga itu menghubungkan pada ruangan di atasnya. Ya, inilah ruangan seminar itu.
”Ada bang Yus?”
Aku bertanya pada seorang laki-laki berkaca mata. Dia memegang beberapa lembar kertas di tangan kanannya.
Ia langsung menjawab.
”Ada. Mbak Dwi Syafriyanti, ya?”
Jawaban, sekaligus pertanyaan itu, kujawab dengan senyum dan ucapan terima kasih. Selanjutnya, aku bergegas memasuki ruangan seminar.
Ruangan itu sekira 10 kali 8 meter luasnya. Beberapa orang telah berkumpul di ruangan. Sebuah meja panjang dengan alas kain biru berada di tengah ruangan. Meja itu bagi pembicara seminar. Pada meja yang lain, ada Over Head Projector (OHP). Ini adalah benda yang berguna, untuk melihat bayangan gambar diapositif. Biasanya digunakan untuk presentasi. Sebuah kabel menghubungkan komputer jinjing ke OHP. Dari dua alat itulah, ditampilkan berbagai materi seminar ke layar.
Dari alat-alat itu, seorang lelaki sedang berbicara serius, sembari mengoperasikan komputer jinjing, guna mengatur tampilan gambar komputer jinjing ke OHP.
Puluhan kursi juga sudah tertata rapi di ruangan. Kursi sengaja ditata mengelilingi meja pembicara. Sebuah kipas angin berukuran sedang, mencoba membuat adem ruangan. Ia bergerak atraktif. Menebarkan angin. Seakan mencoba merayu dan meredam panas, pada sebuah siang yang begitu terik, khas Kota Khatulistiwa.
Tidak lebih dari lima menit, aku duduk dan berbaur dengan peserta seminar. Eh, lelaki berkaca mata itukan, yang baru saja aku tanya tempat berlangsungnya seminar. Ternyata, dia yang menjadi moderator seminar.
Seminar dibagi menjadi beberapa sesi itu. Selepas sesi itu, para peserta seminar didaulat makan siang. Aku yang baru sampai, karena harus menghadiri rapat, tak luput dalam ritual itu. Ditemani Yusriadi dan beberapa kenalan baru, kami memilih santap siang di luar ruang seminar. Sepoi-sepoi angin menambah nikmatnya sekotak nasi beserta lauk pauknya yang terhidang.
Makan siang usai dalam setengah jam. Tibalah sesi seminar berikutnya. Nur Iskandar, yang biasa kusapa Nuris, Pemimpin Redaksi (Pimred) Borneo Tribune, belum muncul. Padahal, dia salah satu pembicara seminar.
Aku melihat Yusriadi mulai gelisah. Ia berkali-kali menghubungi telepon genggam Nuris. Sahabatku itu super sibuk. Dia orang yang serius menjalankan tugas dan tanggung jawab. Yusriadi paham betul hal itu.
Seminar reguler itu bertema, ”Resolusi Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal”. Ini hari yang kedua. Ada 19 pembicara. Aku, Nuris, dan beberapa mahasiswa yang aktif di lembaga pers kampus, menjadi pembicara pada sesi terakhir.
Aku sengaja minta Yusriadi, supaya mengatur jadwal sebagai pembicara pada siang hari. Nuris pembicara terakhir. Dia datang setelah dua pembicara lainnya, menyelesaikan presentasi. Nuris berkesempatan mendengarkan presentasi makalahku. Aku sudah mendiskusikan makalah itu dengannya.
Makalah kubuat singkat. Sekalipun aku berbicara dalam kapasitas di Tribune Institute, tapi selaku praktisi hukum, aku lebih suka berbicara dari perspektif hukum. Betapa aku mengagumi pendapat para ahli sosiologi hukum, terutama Prof. Sacipto Rahardjo. Judul makalahku, ”Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai Upaya Menerjemahkan Keadilan Sosial.”
Dua jam berlalu. Namun, diskusi masih saja berlangsung hangat, ditengah cuaca sore yang mulai teduh. Aku menikmati suasana seminar itu. Aku dan Nuris, serta pembicara lain, silih berganti menjawab pertanyaan dari peserta. Waktu bergerak bagai roda gila. Cepat dan tak terasa.
Tiba-tiba, keasyikan seminar terhenti. Adzan salat Ashar bergema. Ruangan menjadi hening. Kami terdiam.
Selepas itu, Yusriadi bergerak menuju meja panjang di tengah ruangan. Ia bergabung dengan pembicara lain. Seraya menenteng komputer jinjing warna hitamnya, ia mulai menyimpulkan hasil seminar reguler yang diselenggarakan dua hari tersebut.
Dia menutup seminar. Tepuk tangan bergemuruh. Seisi ruangan seakan terasa sesak oleh bunyi tepuk tangan yang seakan tak ada putusnya. Sebelum acara ditutup, Yusriadi mengingatkan pada semua pembicara, agar menyelesaikan makalah, karena akan dihimpun menjadi buku.
Hemmm, pengalaman akademik yang menarik. Sangat Berkesan. Terima kasih untuk undangannya, Sobat.(Publish in Harian Borneo Tibune 3 dan 4 December 2008)

PRESS “CANCEL” TO KUTUKAN

DWI-07-08
Nuris dan Yadi adalah sebagian orang yang menjadi saksi hidup bahwa tesis ku bukanlah soal pers, sebagaimana yang ku teriakkan kesemua orang sebelumnya.

Tapi justru tentang teknologi informasi dalam aspek hukum tentunya, hari itu adalah ujian tesisku, walau dosen penguji utama, dekan fakultas hukum Untan itu menyukai ide dasarku, tetap saja tak menyulutkan risau dihatiku karena tak dapat tampil gemilang mempertahankan tesisku itu. Entahlah mungkin karena kurang cukupnya waktu untuk melakukan penelitian, dan pikiran burukku muncul, ya...., aku merasa dikutuk

Aku menganggap itu kutukan dengan alasan bahwa, sebelumnya aku sangat ingin menulis tesis tentang pers, aku diskusi dengan banyak orang, aku juga saksi sejarah terhadap peristiwa-peristiwa yang berkitan dengan pers, saat sejarah tercipta di mana sahabatku Mering, dkk dipecat maka aku ada, sampai-sampai ada seorang dosenku yang mengira aku adalah wartawan.

Buku-buku tentang hukum pers sudah dikumpulkan, aku tak perduli pendapat sebagian temanku bahwa pers itu bukan hal yang menarik untuk ditulis. Bahkan keinginan ku itupun sudah kuikrarlihatkan semangatku di tulisan ”Duniamu Sahabat”

Judul tesis yg ku ajukan di jurusun sudah di acc dosen jurusan, tapi tidak ku garap, karena terus berupaya mencari materi menarik tentang pers, dan memang judul yang kumaksud itu bukanlah soal pers.

Aku dicari dosen jurusan, mengapa tesisku tidak segara digarap, sementara waktu yang tersisa semester ini nyaris usai, aku masih berkonsultsi apakah aku boleh menulis tentang jurnalitik.

Judul baru yang sebenarnya judul lama itu sudah kusiapkan, tapi karena aku terjegal di konsentrasi bisnis maka aku harus menulis dengan presfektif bisnis, sulit.

Akhirnya dengan berat hati tesisku tetap pada judul semula tentang teknologi informasi....

Aku galau tak mampu berikan yang terbaik dalam tesisku, hingga makan malam di resto favorit sebagai tanya syukur dan terima kasihku pada sahabat-sahabat yang menemaniku ujian tak terlalu kunikmati, yah shabu-shabu, makanan jepang itu sama sekali tak dapat menggugah seleraku..

Galau tak boleh lah berlama-lama, itu ujarku pada jiwa yang terkadang lelah dengan semua hal, karena menuliskan tentang pers bisa ku lakukan kapan saja, tidak hanya dengan tulisan ilmiah dikampus, maka aku mau menulis tentang pers, menulis tentang apa saja, aku akan menulis sepanjang hidup..

Enyahlah pikiran buruk, karena sesungguhnya kutukan itu tidak akan pernah ada....

SENGKETA PILWAKO MULAI DISIDANG

Oleh: Andika Lay

Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat menggelar sidang sengketa Pilwako pertama, Selasa (9/9) pukul 10.00 kemarin. Pihak Pemohon adalah pasangan bakal calon Walikota Pontianak dan Wakil Walikota Pontianak Periode 2008-2013 dari Pasangan Perseorangan Tan Tjun Hwa, SE dan Nagian Imawan,S.Sos. KPUD Kota Pontianak yang menjadi pihak Termohon.
“Yang menjadi materi keberatan permohonan kita adalah mengenai hasil penetapan calon Walikota dan Wakil Walikota Pontianak,” kata Kuasa Hukum Para Pemohon, Dwi Syafriyanti, SH, MH yang didampingi kedua rekannya A. Ambo Mangan, SH dan Fransiskus Kamis SH dari Kantor Advokat/Penasihat Hukum W. Suwito, SH & Associates

Para Pemohon meminta penetapan calon peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana Berita Acara Nomor : BA/056/KPU-Ptk yang telah diumumkan pada 30 Agustus 2008 dibatalkan pengesahannya karena proses penetapan dinilai cacat hukum.
Bakal calon (balon) Walikota dan Wakil Walikota Pontianak dari jalur perseorangan, Tan Tjun Hwa–Nagian Imawan, S.Sos menggugat KPUD Kota Pontianak ke Pengadilan Tinggi (PT) Kalbar dengan perkara nomor 01/PDT/Pilkada/2008/PT.Ptk.
Permohonan para pemohon didasarkan Surat Edaran No. 8 Tahun 2005 tanggal 6 Juni 2005 tentang petunjuk teknis sengketa mengenai Pilkada, jo tata cara pengajuan upaya hukum keberatan terhadap penetapan hasil Pilkada dari KPUD provinsi dan Kab/kota (Peraturan Mahkamah Agung RI No.02 Tahun 2005 tanggal 9 Mei 2005).
Menurut Kuasa Hukum Para Pemohon yang menjadi alasan dan dasar diajukannya permohonan pembatalan penetapan hasil calon walikota dan wakil walikota karena kliennya merupakan balon Walikota dan Wakil Walikota Pontianak periode 2008-2013 yang telah memenuhi segala persyaratan yang ditentukan undang-undang, dari pasangan calon perorangan.
Pemohon telah memenuhi salah satu persyaratan sebagai balon walikota dan wakil walikota pada tanggal 2 Juli 2008 telah menyerahkan berkas dukungan yang disertai dengan KTP/surat keterangan tanda penduduk yang masih berlaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengharuskan calon perorangan yang telah diterima Termohon.
Sesuai keputusan KPUD Kota Pontianak Nomor 14 Tahun 2008 tentang pedoman teknis dan tata cara pencalonan dalam Pilkada tahun 2008 huruf f angka 1 mensyaratkan pengajuan balon perorangan dapat mendaftarkan diri sebagai calon perorangan apabila memenuhi syarat dukungan minimal 25.385.
Sebagai balon perorangan pada 2 Juli 2008 lalu, Para Pemohon telah menyerahkan berkas dukungan yang disertai KTP yang masih berlaku sesuai dengan perundang-undangan kepada Termohon sebanyak 28.231 buah sebagaimana yang tercantum dalam tanda terima berkas dukungan untuk pasangan calon perorangan.
“Dan penyerahan ini telah memenuhi persyaratan sebagaimana yang dimaksud dalam keputusan Termohon No. 14 Tahun 2008 tentang pedoman teknis tata cara pencalonan dalam pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah tahun 2008 huruf f angka (1) yang mensyaratkan bahwa pengajuan balon perseorangan dapat mendaftarkan diri sebagai balon walikota dan wakil walikota apabila memenuhi syarat dukungan minimal 25.382 suara,” jelas Dwi.
Lebih lanjut Dwi mengatakan, berkas dukungan yang disertai KTP dukungan telah diserahkan Para Pemohon kepada Termohon sesuai dengan perundang-undangan untuk balon perorangan dan Termohon telah melaksanakan verifikasi dari tanggal 4-24 Juli 2008.
Para Pemohon sebagai pasangan calon perorangan Pilkada Kota Pontianak periode 2008-2013, merasa telah siap diri dan data pendukung telah ditentukan undang-undang juga telah terkumpul , maka tanggal 31 Juli 2008 Para Pemohon datang ke kantor Termohon guna mendaftarkan diri sebagai walikota dan wakil walikota dan sekaligus menyerahkan semua surat , formulir isian dan data lain selengkapnya kepada Termohon.
Akan tetapi Termohon tidak memberikan pelayanan sebagaimana mestinya dengan tanpa memberikan jawaban dan alasan yang sah baik dalam bentuk tertulis ataupun penolakan lisan yang didasarkan pada suatu ketentuan undang-undang, sedangkan hasil verifikasi yang dilakukan Termohon dibuatkan berita acaranya, akan tetapi tidak transparan secara nyata yang disebutkan dalam berita acara tersebut tidak terlampir.
“Semestinya pihak Termohon sebagai KPUD Kota Pontianak dalam melakukan verifikasi setiap calon harus dibuatkan BA tentang hasil verifikasi, sehingga verifikasi yang dilakukan Termohon hanya dilakukan seenaknya sendiri tanpa aturan yang sah, dan perbuatan Termohon harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara semena-mena dan melawan hukum,” terangnya.
Masih menurutnya, Termohon selain telah melakukan verifikasi yang hasilnya sangat merugikan Para Pemohon karena adanya suatu perubahan (manipulasi) formulir, juga dalam melakukan suatu tindakan verifikasi tanpa dibuatkan BA secara seksama sebagaimana mestinya menurut ketentuan undang-undang.
Termohon juga telah memberikan/mensosialisasikan kepada Para Pemohon formulir model B9 PUWK-KPU tentang surat penyataan mendukung namun dengan inisiatif dirinya Termohon telah menukar dan mengganti formulir B9 PUWK-KPU yang judulnya Surat Pernyataan /Tidak Mendukung, maka dengan adanya formulir B9 yang sengaja dirubah Termohon maka Para Pemohon sebagai balon walikota dan wakil walikota terhambat untuk meneruskan minat dan tujuan Para Pemohon mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah, dengan demikian maka perbuatan Termohon telah nyata-nyata merugikan pihak Para Pemohon.
“Sesuai dengan ketentuan Undang-undang khususnya surat edaran MARI dan peraturan MARI tersebut diatas, permohonan ini kami ajukan ke pengadilan untuk mendapatkan pemeriksaan dan putusan final yang adil menurut hukum,” jelasnya.
Diakui olehnya, berdasarkan sikap dan tindakan Termohon sebagaimana yang diatas, maka hasil rekapitulasi dan putusan atau penetapan yang dibuat dan dikeluarkan Termohon harus dipandang cacat menurut undang-undang dan tidak sah serta batal demi hukum dan dinyatakan tidak berlaku menurut hukum dan sekaligus harus dipandang sebagai perbuatan melawan hukum yang sangat merugikan bagi Para Pemohon, katanya sambil berlalu.
Majelis hakim yang diketuai oleh H. Ritonga, SH, beranggotakan Sujono,SH, Suparno,SH, H Neris,SH, Ester Sireger SH dan dibantu oleh Panitera Pengganti HM. Juliadi Razali,SH,SIp,MH dan Sawardi, SH yang menghadirkan KPUD Pontianak sebagai Termohon. Sidang itu hanya mendengarkan Pembacaan Permohonan Para Pemohon. Sidang akan dilanjutkan Kamis depan dengan agenda mendengarkan Jawaban pihak Termohon.

BIG DESIGN MANDOR DIAMANAHKAN KEPADA TRIBUNE INSTITUTE


Nuris

Short Message Service (SMS) atau pesan layanan singkat itu saya terima pada pukul 00.32 WIB, hari Sabtu tanggal 21 Juni 2008. Pada saat itu saya, Dwi Syafriyanti selaku Ketua Yayasan Tribune Institute, dan Tanto Yakobus selaku redaktur Harian Borneo Tribune sekaligus designer website Mandor masih berada di The Roof Cafe tempat diselenggarakannya “Mandor Meeting” bersama stakeholder membicarakan langkah-langkah lebih lanjut terhadap big design (rancangan besar) gerakan “Mandor” yang telah memiliki payung hukum Hari Berkabung Daerah (HBD) serta Monumen Daerah Mandor melalui Perda No 5 Tahun 2007

SMS yang dikirimkan Panembahan Landak itu adalah penegasan kembali atas kesimpulan akhir dari Mandor Meeting yang digelar di The Roof Cafe, Hotel Peony yang berlangsung sejak pukul 18.30-23.00 dan diikuti oleh sedikitnya 30 peserta. Mereka antara lain Drs Gusti Suryansyah, M.Si, Dr Mardan Adijaya, Drs Gusti Mulia, Ir Syarif Muhammad Herry, Turiman, SH, M.Hum, HA Halim Ramli, Drs M Zain, Moeliono (Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat, mewakili HA Kadir Ubbe, SH, MM), Dra Sri Jumiadatin, M.Si (Karo Binsos Pemprov Kalbar), Paimin Slamet (Dinas Pendidikan Nasional mewakili Drs H Ngatman), Erick S Martio, Ir Andreas Acui Simanjaya, Zulfidar Zaedar Mochtar, SE, MM, Faisal Riza, ST, Nazirin, SH dan masih banyak lagi.
Saya selaku moderator sekaligus atas nama Harian Borneo Tribune yang menjadi fasilitator Mandor Meeting membuka kegiatan dengan penjelasan flash back bahwa tragedi yang terjadi di tahun 1942-1944 sangat besar artinya bagi Kalbar yang multietnis, multiras dan multi agama. Perjuangan rakyat melawan fasisme Jepang, yang gugur sebagai bunga kusuma Bangsa patut dikenang dalam buku sejarah kejuangan Bangsa Indonesia. Ironisnya, Tragedi Mandor yang genocidanya menunjukkan angka 21.037 jiwa luput dalam pelajaran sejarah nasional. Oleh karena itu perlu bagi generasi saat ini memperjuangkannya secara terus menerus ke Pusat, bahkan internasional. Demikian lantaran korban perang Jepang tidak hanya Kalbar, tapi juga China, hingga Amerika Serikat.
Pemprov Kalbar sebagaimana dituturkan Wiwiek dari Biro Binsos menegaskan bahwa sudah ada beberapa kali pertemuan membahas HBD yang jatuh pada 28 Juni mendatang. Misalnya BKIKD melakukan ekspose, dinas pendidikan melakukan lokakarya menyoal masuknya Mandor sebagai bahan pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah, maupun Dinas Pekerjaan Umum untuk mengelola tata ruang. Terlebih lokasi Mandor mengalami kerusakan akibat ulah penambang emas.
Dinas Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat seperti penjelasan Moeliono mengakui bahwa sejak Perda No 5 tahun 2007 terbit, urusan teknis HBD diserahkan ke Dinas Sosial. Biro Binsos hanya mengenai kebijakan-kebijakan strategis semata-mata. “Ini tahun pertama kami sebagai penyelenggara,” ungkapnya.
Menurut Moeliono pada 28 Juni mendatang upacara akan lebih khidmat karena peserta tidak dipaksa berdiri, melainkan disiapkan kursi. Acara juga akan lebih komplit dengan adanya komandan upacara, pemasangan foto-foto baru para pejuang, karangan bunga, serta kunjungan pelajar dan mahasiswa. Untuk perawatan Monumen Daerah yang sesungguhnya sama dengan Monas-nya Kalbar, Dinas Sosial mempunyai penjaga makam.
Dinas Sosial berupaya mengundang pihak di Pusat termasuk Kedubes Jepang. Namun diakui hal tersebut tidak mudah. Oleh karena itu dibutuhkan bantuan dari pihak-pihak yang punya akses ke sana seperti Tribune Institute.
Dinas Sosial melihat sangat banyak pekerjaan rumah mengenai situs Mandor. “Kita tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Kita harus bersatu,” usulnya.
Perwakilan dari Dinas Diknas Kalbar, Paimin Slamet di forum menyatakan sejak diterbitkannya Perda No 5 Diknas sudah menggelar seminar pada Desember 2007 dan merekomendasikan Mandor masuk dalam muatan lokal. Pembahasan lebih lanjut pada 24-28 Juni dalam waktu dekat ini.
Gusti Suryansyah dalam pertemuan Mandor Meeting mengaku apresiet terhadap apa yang dilakukan Harian Borneo Tribune bersama kepanjangan tangannya bernama Tribune Institute—sebuah lembaga nirlaba yang bergerak di bidang riset dan pendidikan serta kepenulisan—sehingga perjuangan Mandor tidak “mati angin”.
Kata dosen pasca sarjana di Untan ini, ahli waris keluarga korban Jepang sejak terbitnya Perda No 5 bersikap husnuzhan atau berbaik sangka. Tapi ternyata, sudah memasuki bulan Juni sama sekali tak terdengar rencana-rencana Pemprov tentang apa dan bagaimana HBD tahun 2008 ini. Oleh karena itu dia selaku Ketua TPH-FSKN Kalbar telah pula melakukan rapat di Kantor Magister Ilmu Sosial. Hasilnya mempertanyakan apa eksen dari Pemprov. “Syukur alhamdulillah pada hari ini kita bisa bertemu di forum ini,” ujarnya.
Melihat Pemprov kurang aktif mensosialisasikan HBD, Gusti Suryansyah sudah dua kali ekspose di radio, masing-masing Radio Divasi dan RRI. “Better late than never (lebih baik telat daripada tidak sama sekali),” sindirnya buat Pemprov. “Seperti menelan liur pahit,” ungkapnya gemas—yang sebelumnya tabik-tabik minta maaf kepada Dinas Sosial dan stakeholder yang hadir.
Gusti Suryansyah bicara cukup panjang. Katanya, Monumen Daerah Mandor adalah miniatur Indonesia (bila perlu didesain seperti Taman Mini Indonesia Indah, red) di mana ada multietnis, multikultural, ada genocida. Dll. “Anggaran dana Rp 75 juta ke Dinas Sosial sangat kecil. Sebagian terserap untuk konsumsi. Kita perlu menembus APBN,” usulnya mengenai perjuangan peningkatan status pejuang Kalbar menjadi pahlawan nasional.
“Tahun ini okelah upacara yang mengalami perluasan sedikit saja, tapi tahun-tahun mendatang harus lebih meningkat. Upacara HBD tidak hanya di Mandor, tapi juga di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, seperti upacara 17 Agustus,” imbuhnya.
Mengenai rencana seminar di Kedubes Jepang, Gusti Suryansyah mendukung. Tetapi menurutnya tidak perlu semua keluarga korban ikut serta, sebab dikuatirkan masih ada letupan emosi sehingga ajang akademis berubah menjadi caci maki—hadirin pun tertawa kecil.
Ketua MABT, Erick Martio angkat bicara. Dia yang juga cucu korban Mandor menunjukkan foto kakeknya yang tewas dipenggal Jepang bahkan fotonya dimuat di edisi Borneo Sinbun yang menghebohkan itu.
Dr Mardan Adijaya melakukan penekanan kepada rasa kebangsaan dan marwah ke-Indonesiaan. “Kalbar penuh dengan perjuangan. Kalbar ikut membentuk Republik ini. Oleh karena itu Monumen Mandor harus ada progresnya.”
Diakuinya bahwa masih banyak generasi muda yang tidak tahu cerita Mandor. “Anak-anak kita belum tahu HBD,” ungkapnya.
Mardan setuju perlu ada satu lembaga yang menangani Mandor seperti UPT (Unit Pelaksana Teknis). Lembaga ini yang mengelola secara langsung Monumen Daerah, tetapi lembaga-lembaga lain seperti forum kraton, PPKAJ dll tetap penting sebagai support system alias sistem pendukung.
Berkenaan dengan hal itu Mardan setuju big design gerakan Mandor seperti dikupas di atas diinisiasi oleh Tribune Institute. Pertimbangannya sama dengan Gusti Suryansyah, agar organisasi tidak gemuk, ramping, bekerja taktis dan cekatan.
Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH mengaku Mandor Meeting luar biasa menarik. Menurutnya Mandor tak lepas dari isu HAM yang menjadi konsentrasi masyarakat internasional.
“Mandor tidak berhenti pada sejarah. Ada pluralisme di sini. Persoalan Mandor tak sekedar permohonan maaf dari Jepang, tapi juga UU No 27 Tahun 2004 mengenai ganti rugi. Oleh karena itu seminar internasional dengan Jepang bukan hal yang mustahil,” ungkapnya seraya mengatakan kita dapat mengajak masyarakat internasional.
Budayawan HA Halim Ramli menyindir Pemprov yang menyiapkan 12 armada angkut. “Dahulu di zaman Gubernur Kadarusno disiapkan 42 bis sehingga 412 keluarga korban bisa diangkut.”
Sebagai penulis cum jurnalis, AHR—sapaannya—membayangkan setiap upacara dapat diikuti 5 ribuan massa. Demikian karena besarnya peristiwa Mandor tersebut. AHR menyatakan, perlu figur-figur seperti Kadarusno.publish in Borneo Tribune

Mengapa Harus Mandor?

By Tanto Yakobus

Kamis (19/6) siang kemarin, saya terima surat dari rekan redaktur Borneo Tribune, H. Nur Iskandar, di kantorku. “Nah, ini surat undangan untuk dialog besok, jangan tak hadir,” kata Nuris—sapaan Nur Iskandar, sambil menyodorkan sebuah amplop surat warna putih kepadaku.
“Kok pakai surat segala, kitakan satu kantor dan saya pun sudah tahu”.
“Kita profesional boy,” ujarnya sambil berlalu

Aku pun buru-buru membuka surat tersebut, ternyata rencana dialog yang kami gagas akan menghadirkan satu dua orang sambil menunggu waktu siaran langsung Piala Eropa atau Euro 2008 itu, tidak seperti yang aku duga. Sederet nama tokoh tertera dalam lampiran surat undangan tersebut.
Mulai dari Ketua DPRD Provinsi Kalbar, Zulfadhli, Kadisos dan pemberdayaan masyarakat, Kadir Ubbe, Kadis pendidikan, Ngatman, dan beberapa nama lagi yang mewakili birokrad. Lalu ada keluarga korban, sebut saja Gusti Suryansyah, Mardan Adiwijaya, Sultan Syarif Abubakar Alkadrie dan Gusti Hardiansyah.
Dari kalangan etnis yang diwakili oleh lembaga etnis macam Makarius Sintong dari DAD/MADN, Andreas Acui Simanjaya dan Eric S Martio dari MABT. Lalu dari dari MABM dan masih ada dari unsur etnis Zulfidar Zaedar Mochtar, dll.
Lalu ada juga sejumlah nama dari kalangan akademisi, Turiman Faturrachman, Yusriadi. Dari kalangan LSM, Yohanes Supriyadi, Budayawan, HA Halim Ramli, ada juga nama dari Komda HAM Kalbar, Edi Patebang, advokat juga hadir yang diwakili Dwi Syafriyanti. Dan para redaktur harian Borneo Tribune.
Dari sederet nama yang diundang dan telah menyatakan kehadirannya, saya yakin kualitas dialog yang membedah makna Hari Berkabung Daerah (BBD) akan berkualitas.
Sebab kapasitas dan kapabiltias orang-orang yang akan menghadiri dialog tersebut tidak diragukan lagi. Mereka sangat populer dan profesional di bidangnya masing-masing.
Sebagaimana yang pernah saya tuliskan dalam blog maupun versi cetak di koran-koran sebelumnya, siapa pun anak bangsa ini terutama di Kalimantan Barat harus memahami peristiwa Mandor secara utuh. Jangan sampai sepotong-sepotong, dan justru membelokkan sejarah sesungguhnya.
Semua punya andil dan harus mengetahui bahwa peristiwa Mandor layak diangkat di tingkat nasional. Sebab itu bagian dari perjuangan bangsa ini untuk memperoleh kemerdekaannya.
Dan yang tak kalah pentingnya adalah, jangan sampai peristiwa Mandor diklaim sepihak, bahwa ada pihak lain yang tidak terlibat sama sekali dalam memperebutkan kemerdekaan tadi. Pada zaman itu, Jepang tidak memilih-milih korban yang akan dimusnahkan di Mandor, bukan hanya orang jerdik pandai saja yang dibopong ke “lubang raksasa” Mandor, tapi siapa pun yang bernapas saat itu dan tertangkap pasti di seret ke sana, dan itu tidak menimpa etnis tertentu. Singkat kata, siapa pun sapu bersih hingga hilang manusia satu generasi akibat kekejaman Jepang di Mandor tersebut.
Nah, dialog ini menurut hemat saya baik adanya, kita boleh mengeli lebih dalam makna peristiwa Mandor. Saya berharap pristiwa Mandor dapat memacu semangat kita untuk bersatu membangun Borneo Barat tercinta ini.
Tanggal 28 Juni yang ditetapkan sebagai HBD sudah di depan mata. Perjalanan waktu memang tidak terasa. Rasanya baru saja HBD ditetapkan oleh DPRD Provinsi Kalbar, dengan peraturan daerah (Perda) nomor 5 Tahun 2007.
Berdasarkan Perda tersebut maka pada 28 Juni 2007 diproklamirkan pemasangan bendera setengah tiang pertanda duka atas tewasnya sekitar 21.037 jiwa penduduk Kalbar akibat fasisme Jepang. Hari itu disebut Hari Berkabung Daerah (HBD).
Upacara HBD pada 28 Juni 2007 berlangsung sangat khidmat serta dihadiri lebih dari 1000 keluarga korban. Upacara ini terbesar dari yang pernah dilakukan untuk memperingati “Tragedi Mandor”.
Bagi siapa saja yang membaca blog ini, dan kebetulan sedang di Kota Pontianak, bolehlah menyumbangkan pemikirannya dalam dialog dimaksud. Sebagai salah seorang pengagas dialog, saya senang bila forum tersebut disesaki orang-orang yang punya komitmen baik terhadap sejarah maupun kemajuan Kalbar kedepan.
Hanya kitalah yang bisa menghargai jasa-jasa para pendahulu kita yang menjadi korban kegagasan Jepang di Mandor itu. Jadi kita jangan berharap Jepang menghargai jasa mereka, tapi kitalah yang menghargainya.?

Tribune Institute Siap Jalankan Amanah

By. Nur Iskandar
Suasana hening ketika usul demi usul diendapkan dalam Mandor Meeting di The Roof Cafe, Jumat (20/6) malam. Ketua Yayasan Tribune Institute, Dwi Syafriyanti, SH di hadapan 30 peserta angkat bicara.
“Tribune Institute siap sedia menerima dan menjalankan amanah yang sangat besar ini. Insya Allah Tribune Institute menjalankan amanah dengan penuh loyalitas, bahkan tanpa dikomando pun kami akan terus berjuang untuk Mandor,” ungkapnya memecah keheningan

“Kami siap menjalankan amanah dengan memformulasikan kembali semua agenda yang telah pernah direkomendasikan baik oleh para ahli waris keluarga korban fasisme Jepang, usul para cerdik cendikia, maupun alur pemerintahan. Kami tentu mohon bantuan dan bimbingan dari kita semua karena Tribune Institute pun tak akan mungkin bekerja sendiri untuk tingkat lokal, nasional hingga internasional,” sambung kandidat magister hukum ini tegas dan fasih.
Dwi yang juga keluarga korban Mandor karena saudara kakeknya di Kerajaan Sintang juga diciduk Jepang serta kembali hanya tinggal nama mengatakan Tribune Institute memiliki jaringan yang cukup kuat secara lokal, nasional dan internasional. Untuk itu menurutnya, amanah Monumen Daerah Mandor akan dapat dijalankan dengan sebaik-baiknya—terlebih dengan dukungan Tim Pemikir—seperti diusulkan Dr Mardan Adijaya—Raja Mempawah.
Dwi berharap dukungan dan bimbingan agar program dapat berjalan dengan baik, termasuk seluruh testimoni maupun data berkenaan dengan fasisme Jepang di Kalbar untuk dapat disampaikan kepada Tribune Institute yang bersekretariat di Jalan Purnama, Kompleks Pinangsia No 2 Kota Pontianak

‘Lontong Merdeka dan Jagung Bakar’ di Borneo

Safitri Rayuni
Borneo Tribune, Pontianak

Kenapa lontong? Tanya saya ketika menu ini dijadikan sebagai menu utama sekaligus judul acara diskusi 17-an di Borneo Tribune malam Jumat lalu. Mungkin selain praktis disajikan, lontong dengan santan yang berlemak, legit dan manis dianggap cukup mewakili keberagaman dus kekentalan rasa kebersamaan yang ingin diwujudkan di sini.
Begitupula wacana dan lontaran yang disampaikan sejumlah pembicara yang hadir di Borneo Tribune benar-benar mewujudkan kenyataan yang terbayang tersebut. Kaya warna dan rasa. Manis, berlemak dan legit seperti lontong sayur dan jagung bakar malam itu

Beri Pencerahan dan Pencerdasan
Seorang Halim Ramli misalnya. Tokoh budayawan milik Kalbar yang terkenal dengan goresan emasnya membuat maskot Kalbar “enggang gading” mengatakan betapa media massa memiliki peran nasionalisme. Ia teramat penting mendidik generasi mendatang.
Jurnalisme penting. Teramat penting. Satu-satunya yang bisa diandalkan.
Tampilan wajah, gambar hingga pilihan kata-kata harus sangat diperhatikan dalam jurnalisme. “Jurnalisme melawan kebodohan, ketertindasan, keterpinggiran! Kita di Kalbar ini tergolong tidak mampu karena terpinggirkan oleh kehendak-kehendak Pusat. Ada istilah numpang ketawa pun jadilah,” katanya.
Halim yang rambutnya kini berwarna perak ini melihat kebebasan berekspresi sudah cukup bagus dan harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. “Bukan untuk menjadi vulgar dan bebas sebebas-bebasnya. Sekarang kita sendiri yang mengatur diri kita, agar menjadi sebuah media yang elegan,” katanya.
Dulu, katanya, kalau seperti dirinya menulis “Mat Belatong” pasti sudah ditangkap rezim Orde Lama. Sekarang sudah mewah dengan kebebasan. Tentu kebebasan yang dilatari tanggung jawab moral membangun masyarakat.
Di awal era reformasi, bermunculan banyak media dengan teramat mudah. “Kran kebebasan ini membuat banyak orang dengan mudah menerbitkan media yang tujuannya juga beragam, dengan motif yang tak jarang untuk menghantam sana-sini,” katanya. Tulisan-tulisan seperti ini menurutnya lebih pantas untuk masuk ke ‘keranjang sampah’.
Borneo Tribune menurutnya harus memegang teguh prinsip awal untuk memberikan pencerahan dan pencerdasan. “Perlu dipegang teguh prinsip awal. Mudah-mudahan dengan hadirnya Borneo Tribune ada perbandingan dan warna baru di Kalbar,” katanya seraya mengecam liputan klenik, mistik yang dibesar-besarkan hingga foto vulgar nan berdarah-darah yang membuat gerah dan tidak mendidik.

Masih Terjajah
Seorang Ketua RT yang mewakili tokoh masyarakat setempat, Suprianto mengatakan saat ini kita tidak hidup di alam kemerdekaan, namun masih berada di alam penjajahan. “Sebab kemerdekaan dalam arti luas adalah merdeka dalam kehidupan berpolitik, ekonomi, dan sebagainya,” ungkapnya
Kemerdekaan kata Suprianto belum menyentuh rakyat kecil. Ia menyinggung soal penertiban illegal logging yang di satu sisi membuat masyarakat kelaparan.
Mantan pegawai BUMN yang kini membuat usaha sendiri berupa kompor minyak tanah dua tungku yang irit bahan bakar menilai pemerintah tak memberikan solusi kepada masyarakat. “Selama ini pemberitaan media lebih banyak kepada akibat, bukan sebab. Padahal kalau ada pekerjaan lain masyarakat tak mau bekerja di hutan sebab salah sedikit taruhannya nyawa. Resiko jadi pelaku illegal logging itu berat sekali. Pemerintah harus mencarikan solusi lapangan kerja,” kata alumnus Pertanian Untan ini.


Anggota DPRD Provinsi DPRD Provinsi, Michael Yan Sriwidodo, SE, MM berbagi cerita masa kecil di mana kondisi kemerdekaan era tahun 70-an hingga 80-an, juga kondisi saat ini dan pers yang kebablasan. “Kalau dulu kita sangat takut dengan aparat baik polisi maupun ABRI (TNI). Kalau mereka ada di jalan dan kita di luar maka orang-orang tua akan bilang masuk! Masuk!,” ungkap pria yang juga salah satu tokoh masyarakat Tionghoa ini.
Advokat Dwi Syafriyanti, SH menyoroti soal hukum yang tumpang-tindih dan membuat kebingungan para praktisi hukum. Ia mengaku gelisah dengan beberapa perubahan dan amandemen UUD 1945, bahkan khawatir Pancasila pun akan hilang.
Pengamat media yang mantan Direktur LPS-AIR, Faisal Reza, ST banyak mengupas soal tampilan dan rubrikasi Borneo Tribune. “Saat membaca Tribune pertama kali yang saya cari adalah Skumba. Sebab ini menjadi semacam inspirasi dan mengundang tawa. Pikiran kita selama ini media membawa ketegangan, namun dengan membaca cerita-cerita lucu seperti itu jadi berpikir ada sisi lain kehidupan yang harus ditertawakan termasuk mentertawakan diri kita sendiri,” ujar mantan aktivis mahasiswa ini.
Dikatakan, selama ini kalau membaca koran yang ditemukan pasti 5W + 1H. Namun jika ingin mendapatkan Why-mengapa-maka ia membaca Borneo Tribune. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan warna lain bagi jurnalistik.
Faisal mengkritisi tampilan Borneo Tribune yang berani memasang gambar besar dan tulisan sedikit namun panjang bahkan ada ruang kosong. ”Mungkin selama ini mindset kita koran dengan berita yang padat, jadi belum terbiasa. Padahal Harian Tempo atau Tempo juga enak dibaca dengan tata wajahseperti itu,” kata dia sambil tersenyum.
Kepala Humas Pemprov Kalbar Drs Hamdan Harun, M.Si yang malam sangat sibuk terkaitagenda acara Agustusan Pemprov namun berusaha hadir prima menyoroti persoalan nasionalisme di Borneo Tribune. Ia kecewa dengan demo di kantor gubernur yang sampai ingin membakar dan menurunkan bendera beberapa waktu silam menyoal nasionalisme ini. ”Padahal bendera itu bukan hanya sepotong kain, namun ada makna penting bahwa puluhan ribu jiwa melayang untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan.”
Pakar hukum tata negara, Turiman Faturrachman Nur, SH, M.Hum melihat persoalan bangsa saat ini bukan hanya capacity building namun juga national and character building yang harus terus dibangun. “Untuk membangun bangsa ini mulai dari sendiri,” saran dia.
Turiman berfilsafat dengan 4 alif. Alif ditunjukkannya dengan sejengkal jari. Ia sejengkal di muka artinya mengukur diri dengan orang lain. Sejengkal ke kuping kiri dan kanan, yang artinya mau mendengar. Lalu alif satu lagi dari mulut ke hati.
Institutional Development Specialist NMC-NUSSP Ripana Puntarasa turut hadir ke malam refleksi kemerdekaan di Borneo Tribune. Ia mengaitkan kemerdekaan dan gagalnya pameran photography yang akan digelar Lukas B Wijanarko di Ayani Mega Mall. “Sesungguhnyaa hari ini ada peristiwa jurnalistik untuk pameran foto yang gagal diselenggarakan. Entah karena miss management atau apa, namun saya melihat ada arogansi di balik semua ini,” papar Ripana.
Ia melihat ada wilayah yang belum merdeka di dunia jurnalistik kita. Padahal jurnalistik adalah salah satu kunci perubahan. Media pencerdasan adalah jurnalistik. Ripana banyak menyoroti persoalan sosial dan kemasyarakatan dengan sudut pandang jurnalistik.
Semakin malam diskusi semakin hangat. Bahkan diskusi informal dilanjutkan di beranda belakang Borneo Tribune. Bermacam topik mulai dari hal sederhana hingga njelimet kembali muncul hingga pukul 00.30 WIB malam

Long Jakar Refleksi Kemerdekaan ala Borneo Tribune

Oleh: Stefanus Akim
Banyak cara untuk memperingati dan mengisi proklamasi yang usianya kini sudah 62 tahun. Borneo Tribune, koran yang terbit dengan motto idealisme, keberagaman dan kebersamaan mengusung diskusi kecil dan santai di ruang redaksi pada malam peringatan proklamasi. Diskusi yang mengundang tokoh masyarakat sekitar, sejumlah NGO, tokoh pemerintahan, akademisi, seniman, pelajar, DPRD dan kalangan pers itu diisi dengan makan lontong dan jagung bakar. Dari kata lontong dan jagung bakar itulah Nur Iskandar-Nuris-Pimred kami berseloroh dengan sesama awak Borneo Tribune acara tersebut Long Jakar


Diskusi sederhana namun kadang juga njelimet dan serius berjalan lancar dan akrab diselingi gelak tawa para peserta yang melantai di atas tikar. Nuris menjadi moderator sekaligus ”pagar ayu” yang menyambut dan mempersilakan tamu-tamu datang. Awak Borneo Tribune mulai dari redaksi (wartawan dan redaktur), pracetak, keuangan turut hadir. Semua yang hadir dipersilakan berbicara bebas termasuk kritik pedas untuk Borneo Tribune yang dua hari lagi genap berusia 3 bulan. Berbagai isu dan wacana meluncur deras. Mulai dari penertiban illegal logging dan solusinya, makna kemerdekaan, demo penurunan bendera di kantor gubernur beberapa bulan silam, rubrikasi dan keberpihakan Borneo Tribune terhadap mereka yang termarjinalkan.
Suasana semakin istimewa dengan kehadiran Ripana Puntarasa dari Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) Jakarta sebuah lembaga yang bertujuan membantu pemerintah dalam mengurangi atau menurunkan tingkat kemiskinan di perkotaan melalui kemitraan antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Ripana adalah Institutional Development Specialist NMC-NUSSP.
Di kalangan pers hadir Halim Ramli, wartawan tiga generasi yang pernah menjabat pimpinan redaksi di harian Pontianak Post. Meskipun sudah berumur namun laki-laki yang dikenal lewat tulisannya Mat Belatong masih terlihat bersemangat.
Di kalangan pers hadir Turiman Faturahman Nur. Ia salah seorang ahli Tata Negara di Fakultas Hukum Untan yang menyelesaikan S-2 dengan tesis tentang pembuat lambang negara Indonesia. Ternyata, menurut hasil penelusuran Turiman, yang membuat lambang negara-Garuda Pancasila-adalah Sultan Hamid II bukan M Yamin seperti yang disebut-sebut selama ini.
Hadir juga Michael Yan Sriwidodo SE MM anggota Fraksi Golkar DPRD Kalbar, Dwi Syafriyanti, SH seorang pengacara yang tergabung dalam kantor pengacara W Suwito Associates. Di kalangan NGO hadir juga Faisal Riza, alumnus Teknik Untan yang aktof di LPS-AIR dan Jari Borneo Barat. Pelaksana Kepala Taman Budaya pak Zen, dan tentu saja Ketua RT, Suprianto beserta beberapa tokoh masyarakatnya. Kalangan seniman ada Pay Jarot. Ia adalah seorang cerpenis, novelis dan penulis yang cukup produktif di Kalbar. Ada juga Pradono, sastrawan yang cukup punya nama hingga ke Serawak. Kalangan Birokrat hadir Hamdan Harun, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat.
Nuris membuka diskusi dengan memperkenalkan satu per satu awak Borneo Tribune termasuk dirinya. Dilanjutkan dengan para undangan yang hadir. ”Kegiatan ini sebagai ajang untuk bersilaturahmi baik dengan masyarakat Kalbar maupun masyarakat sekitar markas kami,” kata dia.
Borneo Tribune ingin menjalin silaturahmi dengan semua kalangan. Sebagai praktisi media, momentum kemerdekaan menjadi salah satu titik untuk merencanakan media dengan matang dan demokratis. ”Kami membangun koran ini dengan motto idealism, keberagaman dan kebersamaan. Dalam menjalankan usaha dan keredaksian kami tak ingin berlaku prinsip homo homini lupus, yang kuat memakan yang lemah. Kami juga tak ingin munafik dan berharap Borneo Tribune menjadi salah satu alternatif bacaan bagi masyarakat Kalimantan Barat,” ujarnya.
Halim Ramli yang didaulat memberikan pandangannya tentang makna kemerdekaan menilai pers saat ini sudah sangat kebablasan. Koran dengan mudah memuat berita-berita kekerasan, vulgar, porno aksi dan klenik. ”Bayangkan foto yang berdarah-darah dimuat, perempuan yang memperlihatkan paha dan dada serta berita-berita hantu pun ada. Ini sudah mengarah ke klenik,” kata Halim dengan suara lantang dan berharap kehadiran Borneo Tribune bisa menjadi sebuah bacaan alternatif buat masyarakat Kalbar.
”Tugas dan fungsi pers itu mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukan sebaliknya memporakporandakan kehidupan bangsa. Coba lihat Kompas, mereka tak macam-macam biasa dan terkesan sederhana tapi langgeng,” wejang dia.
Suprianto, Ketua RT berbicara soal penertiban illegal logging yang di satu sisi membuat masyarakat kelaparan. Mantan pegawai BUMN yang kini membuat usaha sendiri kompor minyak tanah dua tungku yang irit bahan bakar menilai pemerintah tak memberikan solusi kepada masyarakat. ”Selama ini pemberitaan media lebih banyak kepada akibat bukan sebab. Kalau ada pekerjaan lain masyarakat tak mau bekerja di hutan sebab salah sedikit taruhannya nyawa. Pemerintah harus mencarikan solusi,” kata alumnus Pertanian Untan ini.
Michael Yan berbagi cerita kondisi kemerdekaan era tahun 70-an hingga 80-an dengan saat ini dan pers yang kebablasan. ”Kalau dulu kita sangat takut dengan aparat baik polisi maupun ABRI (TNI). Kalau mereka ada di jalan dan kita diluar maka orang-orang tua akan bilang masuk-masuk,” ungkap salah satu tokoh Tionghoa.
Dwi Syafriyanti menyoroti soal hukum yang tumpang-tindah dan membuat kebingungan para praktisi hukum. Ia mengaku gelisah dengan beberapa perubahan dan amandemen UUD 1945, bahkan khawatir Pancasila pun akan hilang.
Faisal Reza banyak mengupas soal tampilan dan rubrikasi Borneo Tribune. ”Saat membaca Tribune pertama kali yang saya cari adalah Skumba. Sebab ini menjadi semacam inspiransi dan mengundang tawa. Pikiran kita selama ini media membawa ketegangan, namun dengan membaca cerita-cerita lucu seperti itu jadi berpikir ada sisi lain kehidupan yang harus ditertawakan termasuk menertawakan diri kita sendiri,” ujar mantan aktivis mahasiswa.
Dikatakan, selama ini kalau membaca koran yang ditemukan pasti 5W + H. Namun jika ingin mendapatkan Why-mengapa-maka ia membaca Borneo Tribune. Kehadirannya diharapkan bisa memberikan warna lain bagi jurnalistik. Faisal mengkritisi tampilan Borneo Tribune yang berani memasang gambar besar dan tulisan sedikit namun panjang bahkan ada ruang kosong. ”Mungkin selama ini main set kita koran dengan berita yang padat, jadi belum terbiasa,” kata dia sambil tersenyum.
Hamdan Harun yang malam itu terlihat sedikit capek namun berusaha hadir prima menyoroti persoalan nasionalisme. Ia kecewa dengan demo di kantor gubernur yang sampai ingin membakar dan menurunkan bendera. ”Padahal bendera itu bukan hanya sepotong kain, namun ada makna penting bahwa puluhan ribu jiwa meninggal untuk mempertahankan kemerdekaan.
Turiman melihat persoalan bangsa saat ini bukan hanya capacity building namun juga national and character building yang harus terus dibangun. “Untuk membangun bangsa ini mulai dari sendiri,” saran dia.
Ripana mengaitkan kemerdekaan dan gagalnya pameran photography yang akan digelar oleh Lukas B Wijanarko di Ayani Mega Mall. “Sesungguhnya hari ini ada peristiwa jurnalistik untuk pameran foto yang gagal diselenggarakan. Entah karena miss management atau apa, namun saya melihat ada arogansi dibalik semua ini,” papar Ripana.
Ia melihat ada wilayah yang belum merdeka di dunia jurnalistik kita. Padahal jurnalistik adalah salah satu kunci perubahan. Media pencerdasan adalah jurnalistik. Ripana banyak menyoroti persoalan sosial dan kemasyarakatan.
Semakin malam diskusi semakin hangat. Bahkan diskusi informal dilanjutkan di bagian belakang kantor Borneo Tribune. Bermacam topik mulai dari hal sederhana hingga njelimet kembali muncul hingga pukul 01 malam.*
*Edisi Cetak Borneo Tribune 18 Agustus 2007

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template 'Contemplation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP