Friday, December 5, 2008

CATATAN YANG TERTUNDA

Agust 07

Dengan bangga Nuris memperlihatkan sebuah gorden yang tergantung di balik sebuah jendela besar. Ukuran kain warna pink tanpa motif itu ternyata tidak lebih panjang dari jendelanya, gordennya pendek!
”ini gordennya kependekan, mbak Dwi...”
Tiba-tiba ada sesuatu yang tak terbendung, bening, mengalir...
Mering dan Nuris diam, suasana hening

***
Ini adalah sepotong kisah yang ingin kutulis setahun yang lalu, tentang suatu siang di ruko milik pak Wito di jalan Gajah Mada Pontianak, tepatnya pasar Flamboyan, ”tradisional market”, kata Dorina sahabat Jermanku.
Layaknya sebuah pasar tradisional, pasar ini menyediakan hampir semua kebutuhan hidup, sebut saja sembako, sayur mayur, ikan, udang, daging, ayam, tahu-tempe, buah-buahan, tak terkecuali panganan tradisional dengan mudah didapat.
Bahkan dari jenis panganan tradisional itu dengan mudah kita dapat menebak bahwa Pontianak dihuni oleh penduduknya yang heterogen, ada kue cucur kesukaan ibuku yang biasanya dibuat dan jual orang Madura, ada lemang kesukaan ibuku juga yang kebanyakan dijual orang Melayu, atau air tahu kesukaan adekku Catur yang dijual orang China serta banyak lagi panganan lain.
Dan becek disepanjang lorong yang menjadi pemisah lapak atau kios para penjual menegaskan bahwa ini adalah pasar rakyat. Kecuali ruko ini, karena berada tepat ditepi jalan Gajah Mada.
Yah, itu dulu adalah kantor pemasaran Harian Borneo Tribune, dan dengan alasan tertentu sekarang ruko itu tak lagi difungsikan untuk kantor pemasaran.
Menaiki tangga dari lantai dasar ke lantai berikutnya tidaklah sulit buatku. Pimred Borneo Tribune itu memanduku menuju salah satu ruangan yang berhadapan langsung dengan jalan Gajah Mada, Mering mengiringi di belakang...
Ada 2 buah meja dengan masing-masing kursi, posisinya berhadapan tapi agak menyerong. Di atas salah satu meja terdapat beberapa lembar kertas, Nuris menghidupkan kipas angin meredakan udara yang terasa begitu panas. Kuhamparkan pandangaku ke segala sudut ruangan yang berukuran tak kurang dari 3x4m itu.
Nuris menyentuh sebuah gorden berwarna pink yang berada di depan kaca jendela nako yang cukup besar itu, Nuris memperlihatkan usahanya menghidupkan suasana kantor dengan gorden yang mungkin dibawanya dari rumah itu.
”Ini gordennya kependekan mbak Wie..” ujar Nuris sambil tersenyum.
Karena memang untuk ukuran jendela yang panjang dan lebar di ruko ini, maka gorden itu masih menyisakan jarak sekitar 20cm bagian bawahnya, yang membuat celah tersendiri, tidak tertutupi karena memang gordennya kependekan.
Tiba-tiba air mataku mengalir, aku merasa sangat amat terharu dengan apa yang dilakukan sahabatku ini, gorden itu hanya contoh sederhana yang begitu mengena rasaku, karena sungguh tidak lah mudah membangun semangat bagi kawan-kawan lain atau mempertahankan semangat yang pernah ada bagi keberadaan sebuah koran harian yang baru didirikan “5 Enggang”.
Gorden kependekan itu adalah bukti kawan-kawanku ini berjuang keras ingin bangkit dan maju wujudkan mimpi, ia bukan hal penting tapi ia adalah bukti perjalanan.
Aku bersyukur bahwa sampai hari ini aku masih bersama mereka, aku ingin jadi saksi perjalanan sebuah sejarah besar yang tengah diukir di bumi borneo ini oleh Nuris, Mering, Dek, Tanto, Yus, Muklis, Budi, Aulia, Ukan, Maya, Hesty, Lina, Yanti, Pak Agus dan yang lainnya, terlebih Pak Suwito, supporter sejati..
GOOD LUCK all of U Guy….

Tuesday, December 2, 2008

AKU, BEBEK GORENG DAN JAMES BOND


(PR Narrative Reporting)

Nonton Film Mr.Bond
Mobil Avanza merah bernomor polisi 51 TI ini bergerak maju menuju keluar pelataran parkir mal A.yani, malam itu hampir pukul 22.00. Aku, adekku Catur, Mbak Andi serta ketiga mahasiswa Bonn University Dorina, Sina dan Mathias masih asik berdiskusi soal film James Bond yang baru saja kami saksikan dan tanggal 7 November yang lalu adalah kali pertama film tersebut dapat disaksikan di layar 21.

Nur Is sang pemilik mobil menyerahkan uang 2 lembar ribuan yang diserahkannya pada seorang petugas parkir, tak lama portal yang menghadang tepat di depan mobil yang kami tumpangi tersebut terbuka lebar.

Hiruk pikuk serta lalu lalang kendaraan di jalur utama kota Pontianak yang berada tepat di depan mal terbesar di Pontianak tersebut menyambut kami, dalam hitungan detik kami sudah menjadi bagian dalam keramaian kota di malam sabtu itu.
Mendahulukan film kesayangan yang diputar pada pukul 18.45 wib itu, membuat kami semua menunda makan malam, dan panggilan alam dengan rasa lapar memang tidak dapat ditunda lagi.

Bebek oh Bebek
Warung Cak Rempu tertulis di sebuah spanduk, biasanya warung itu mangkal tepat di depan sebuah rumah mewah milik mantan pejabat yang sudah tidak terawat, cat putih yang mendominsi rumah itu sudah berubah menjadi kehitam-hitaman, sekalipun demikian makan di warung bertenda tepat di sebagian halaman rumah mewah tak terurus itu terasa begitu nikmat, menu andalan tentu saja aneka pecel; ada pecel lele, pecel burung, pecel ayam pecel bebek dan soto yang sangat ‘makyus’ rasanya, dan tidak jarang warung itu menjadi tempat lahirnya ide-ide aku dan sahabat-sahabatku yang biasa menjadikannya tempat diskusi dalam soal apapun terutama soal Koran kami dan kegiatan-kegiatan Tribune Institute sampai tengah malam.
Tapi dalam beberapa bulan ini warung itu tiba-tiba menghilang...

Akhirnya..
Saya dan Nur Is berdiskusi soal dimana kami akan makan, dan seperti biasa sekalipun warung pecel lele yang menjadi langganan kami dalam beberapa bulan ini menghilang, tetap menjadi tujuan kami, padahal bisa saja kami menemukan warung pecel lele yang lain, tapi dengan alasan terlanjur jatuh cinta kami mau warung pecel lele itu.

Dengan rasa penasaran dan kerinduan pada bebek goreng favoritku itu kami menyusuri jalan tempat dimana warung pecel lele itu mangkal, mobil yang dikemudikan Nur Is bergerak lamban, dan kami belum menemukannya, “ hi lihat itu di belakang ada warung pecel lele “ adikku catur mencoba memecah kebingunga kami semua.

Akhirnya, pencarian berbulan-bulan itu membuahkan hasil, warung pecel lele itu dapat kutemukan, pemiliknya sama, masih dikawasan yang sama tapi berjarak hampir 300 meter ke arah Timur dari tempat sebelumnya. Berada di depan tanah kosong, di samping rumah mewah berwarna kuning. Sang pemilik warung beserta anak buahnya tersenyum manis pada kami, karena aku, catur dan Nur Is adalah langganan setia ”ini malam pertama kami buka kembali mbak”. ”Kenapa pindah?” tanyaku. Pemilik warung menjawab ”Rumah di situ sudah dikontrak orang mbak”.

Senyum manis sang pemilik warung, tak dapat menyembunyikan kegetiran bahwa dia baru saja kehilangan tempat mangkal yang sudah dikunjungi banyak pelanggan sebelumnya itu, di matanya ku tanggap bahwa dia juga tahu diri halaman rumah mewah itu bukan miliknya, sewaktu-waktu dia harus pergi.
Kami makan, melepas kerinduanku pada pecel bebek dan membebaskan kami semua dari rasa lapar. Malam makin larut, mungkin kurang dari setengah jam waktu eksekusinya Amrozi Cs 00.15, maka kami pun bergegas pulang dan kembali ke rumah untuk beristirahat.

Di perjalanan aku bertanya dalam hati, akan ku cari kemanakah lagi nanti warung pecel itu bila sewaktu-waktu pemilik tanah memanfaatkan miliknya, karena warung itu berdiri di pinggir jalan tepat di depan tanah kosong dan di samping rumah mewah berwarna kuning itu, tapi pikirku bahwa andai James Bond pun sempat mencicipi bebek goreng favoritku itu, dia akan senang hati datang dari London sana untuk membantuku menyelidiki ”hilangnya warung bebek gorengku....”.

NEVER GIVE UP!!

(PR Narrative Reporting)

Dalam 3 bulan terakhir, aktivitas Eka tidaklah biasa.
Dia sangat rajin belajar, hampir semua materi hukum coba untuk digaulinya.

Pemilik tubuh gempal, kulit kuning terang, dan mata yang nyaris membentuk garis meski hanya dengan tersenyum itu, sesekali merapikan rambut depannya yang lebih tipis dari bagian lain begitu berapi-api.
Berdiskusi dengan siapa saja di kantor kami, mencoba lagi ujian Advokat pada tanggal 6 Desember mendatang.

Anak bungsu yang punya saudara kembar tidak identik ini bercita-cita menjadi lawyer, profesi yang lebih dulu ditekuni sang abang.
”Eka akan lebih hebat dari bang Wito..!”
ujarnya sambil meraih botol air mineral dan perlahan memindahkan isinya ke dalam tenggorokan, kontradiksi sekali dengan minuman sahabat-sahabat Jermanku tadi malam.

Obrolan Dorina dan Sina atau bunyi musik yang mengaung terasa memekakan telinga di cafe yang berada di lantai teratas PCC itu, tak mampu memenangi suara lantang Eka tepat ditelingaku,
”Eka pasti lulus, untuk Ujian yang keempat kalinya ini..!”

November 08, bersambung

DUNIAMU SAHABAT



Suatu pagi dibulan Maret 2007

Setelah revisi, maka ia adalah penghormatan
untuk ”5 Enggang” di Borneo Tribune
Dan bahwa Mering adalah sahabat yang akan selalu jadi sahabat....

Tak tau apa yang memaksaku untuk menuliskan apa yang terpendam dihatiku sepagi ini bahkan untuk sikat gigipun aku enggan mendahulukannya, cukup aneh mengingat menjadi wartawan adalah bukan cita-cita yang kugantungkan di langit tinggi sana, bahkan ketika pembagian rapot kelas 3 MTsN-ku (SMP) puluhan tahun yang lalu, sembari menyerahkan rapot : “apa cita-citamu Dwi..?” tanya wali kelasku….wajah bersemu merah dan mantap aku jawab : ”saya mau jadi Pengacara Pak..” Nah..!!

Sekarang; Wartawan, Pers, apalagi kemerdekaan pers dan lain-lain menjadi semakin akrab ditelinggaku, rasanya tidak ada yang memaksaku untuk tahu semuanya itu. Belakangan aku mulai sadar, bahwa lewat profesiku sekarang yang mendekatkanku dengan dunia pers dan tidak sedikit sahabat-sahabatku dari dalam komunitas itu.

Buatku sahabat-sahabat persku itu adalah orang-orang yang luar biasa, berjuang demi idealisme profesi, pertaruhkan orang-orang tercinta bukanlah masalah gampang buat manusia jaman sekarang yang hidup senantiasa mengusung kepentingan pribadi tak hirau bahkan lupa apa itu kepentingan umum, apalagi kepentingan bangsa dan Negara….weleh-weleh…(berat lah yaoouuu…)

Berbekal keyakinan dan usaha keras (sekeras-kerasnya) sahabat-sahabatku itu mampu berdiri tegak dalam edialismenya, keberagamannya dan kebersamaannya dalam BORNEO TRIBUNE itu (yang tabah n kuat ya kawan-kawan…). Dan Mr. Mering adalah pembakar terbesar semangatku tu belajar menulis dan dia adalah temen dikusi yang menyenangkan, penuh dengan ide-ide cerdas.

Saking bersemangatnya aku terhadap dunia pers, aku punya keinginan untuk menjadikan pers sebagai bahan penelitian tesisku, dan dalam berbagai kesempatan aku selalu ingin tau tentang dunia Mr. Mering baik lewat buku, perbincangan dengan teman-teman kantor, teman-teman kuliah maupun beberapa dosenku.

Dalam sebuah kesempatan kuliah aku menyampaikan pertanyaan kepada dosenku tentang persaingan antar perusahaan pers, heran., sebelum menjawab dosenku balik bertanya, “anda wartawan?” (maklumlah aku memang junior lawyer, tak heran banyak orang yang belum mengenalku) sekenanya kujawab “saya memang punya komunitas wartawan pak” tampaknya dosenku enggan menjawab pertanyaanku, ya… mungkin karena memang waktu kuliah kami beranjak diujung batas waktu perkuliahan. Dan aku tidak terlalu ingin memaksa dosenku sekalipun aku bisa melakukannya.

Pada kuliah yang sama dan dosen yang sama pula, di hari yang berbeda tentunya, aku kembali bertanya tapi bukan tentang pers, “ya’ silakan wartawan!” dosenku berujar…Nah…aku rupanya disangka wartawan. Teman-teman sekelas yang mengenalku dengan baik: “bukan pak.. dia pengacara” teman-teman kelasku menjawab seperti paduan suara ku dengar… hehe.. dosenku kaget, kebingunganku mulai memudar ketika perkuliah selesai, setiap ada kesempatan lontaran kekecewaan beliau terhadap carut marutnya dunia pers Indonesia, trial by press, orang salah bisa benar begitu juga sebaliknya oleh pers. (walau tak semuanya kayak gitu pak!)
Ooo..dosenku mengikuti dengan baik perkembangan pers kita.

Pada kesempatan lain, aku juga berbincang-bincang dengan teman kuliahku di kantorku ketika dia ingin meminjam catatan kuliahku, aku mengajak temanku yang masih sangat muda itu berdiskusi tentang niatku menulis tesis tentang pers…temanku antusias dalam diskusi kami, bahkan dengan senang hati dia berencana meminjamkanku bahan-bahan lain tentang sejarah pers di Indonesia…namun pengin tau apa yang disampaikan teman kuliahku itu sebelum dia berbincang banyak tentang proposal tesisku tadi…?? ”mbak dwi pengacara…ngapain nulis tesis tentang pers? ada banyak masalah lain yang lebih bagus katanya…..Nah…..???!! Ternyata temanku itu punya pandangan khusus terhadap pers, wartawan khususnya…”wartawan tuh ada wartawan 50rb dan wartawan 100rb mbak wi….” Wah… temanku itu terus nyerocos….bla…bla… (tapi masih banyak wartawan yang masih idealis dan pakai etika jurnalis dalam bekerja lho kawan!)
Ooo..temanku itu juga mengikuti perkembangan pers kita.

Sebagai orang asing di dunia pers, aku bercerita pengalamanku tadi dengan dosen dan temanku persku, si wartawan itu., Mr Mering. Dan dia bilang “mbak wi sih..berteman hanya dengan kami…berteman juga donk dengan yang lain….”
Wah ternyata aku yang belum mengikuti dengan baik perkembangan pers kita……...

Baiklah aku akan belajar mengikutinya dimulai dari belajar sejarahnya lewat tesis yang dibukukan oleh Wikrama Iryans Abidin berjudul Politik Hukum Pers Indonesia:

“……..Sistem politik liberal, yang memakai Undang-Undang Dasar Sementara 1950, kedudukan kemerdekaan pers diakui, celakanya, kemerdekaan pers di era 1950-an cenderung menjadi terompet bagi kepentingan politik multipartai waktu itu. Pada waktu kembali ke Undang-Undang dasar 1945, beradasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, hingga kejatuhan rezim Soekarno (1965), kemerdekaan pers kembali dibelenggu melalui Sensor dan Surat Ijin Terbit (SIT). Dialektika kemerdekaan pers itu, muncul lagi tak kala orde baru (1966) yang mencabut SIT, sensor dan pembredelan. Namun, keleluasaan itu hanya sekejap karena pada awal tahun 1970-an orde baru kembali menekan dengan Sensor, SIT dan Surat Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998, mimpi tentang kemerdekaan pers kenyataan lagi. Pada era ini, kemerdekaan pers dinilai sebagai yang terbaik di Asia. Hanya saja masa emas kemerdekaan pers ini mulai memudar menjelang akhir tahun 2002, yaitu akibat adanya penyimpangan-penyimpangan praktek kemerdekaan pers dari kalangan praktisi pers itu sendiri dimana kemerdekaan pers yang semula terbelenggu berlahan menjadi kemerdekaan pers tanpa tanggungjawab, praktisi pers lepas kendali dari etika profesi dan hukum.”

Akhirnya aku harus diam sejenak guna meresapi tulisanku ini, sebelum beranjak ke kamar mandi, sikat gigi..membasuh raga..membasuh jiwa …dan dengan sepenuh hati ketika kedua tangan menengadah aku berbisik “jagalah sahabat2 pers ku itu Tuhan….”

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template 'Contemplation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP