SEMINAR YANG INSPIRATIF DAN BERKESAN
Dwi
Ini kali pertama, aku memasuki kawasan kampus Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Ada rasa segan. Mungkin juga sungkan. Taksi yang aku tumpangi memasuki gerbang utama. Kendaraan itu mulai bergerak lambat. Sebuah pos penjagaan berdiri tegak di sisi kiri gerbang. Tak ada petugas di sana. Hanya ada dua murid berseragam SMA. Keduanya sedang asyik berbicara
Oh, aku mulai berpikir, siapa yang harus ditanya dengan tak adanya petugas di tempat jagaAku mulai mencari. Dengan seksama, mataku memandang ke segala arah, mencoba menemukan tempat penyelenggaraan seminar. Hari itu, kebetulan jam kuliah. Tepatnya, Sabtu, jelang pukul 13.
Masih banyak mahasiswa dan mahasiswi berada di kampus. Oh, mereka pasti bisa ditanya, kataku dalam hati.
Seseorang coba kudekati. Aku bertanya, di mana tempat berlangsungnya seminar berlangsung. Ia menunjukkan satu tempat. Sebuah aula. Aku segera bergerak ke sana. Namun, aula yang ditunjuk, ternyata tak ada aktivitas. Sepi.
Model bangunan di kampus STAIN, satu bangunan dengan lainnya terpisah. Setiap bangunan terlihat spanduk dan berbagai pengumuman. Ada banyak kegiatan diumumkan lewat spanduk.
”Buatku ini benar-benar kampus, ada napas kehidupan kaum intelektual yang kurasakan di sini,” kataku dalam hati. Nah, mungkin dari spanduk-spanduk yang terpasang di beberapa bangunan itulah, aku bisa menemukan tempat seminar.
Meski agak bingung menemukan seminar diselenggarakan, tapi aku menikmati pemandangan di kampus ini. Cukup asri. Aku melihat supir taksi. Agaknya, ia mulai gelisah.
”Ntar, ya pak. Saya kurang jelas di mana tempatnya,” kataku pada supir taksi.
”Nggak apa-apa mbak. Saya tunggu,” jawabnya.
Aku menghubungi Yusriadi. Aku biasa memanggilnya Bang Yus. Ia sahabat yang menyenangkan. Pintar dan rendah hati. Dia redaktur di Borneo Tribune. Juga, dosen di STAIN. Kebetulan, ia menjadi panitia seminar yang mengundangku, untuk jadi salah satu pembicara. Seminar itu diselenggarakan Pusat Studi Bahasa dan Masyarakat Borneo (PSBMB), FLEGT Support Project, Departemen Kehutanan dan STAIN Pontianak.
Suara di seberang telepon menjawab pertanyaanku. ”Bangunan yang berada di tengah-tengah itu. Yang ada kubahnya itu, mbak Dwi,” kata Yusriadi.
Aku mulai mencari. Ah, itu dia. Spanduk di samping kiri bangunan itu, menyakinkanku bahwa tempat itulah yang menjadi pelaksanaan kegiatan seminar.
Selepas Nardi, supir taksi langganan pergi, aku melihat dua mahasiswi berjilbab sedang membaca sebuah pengumuman di papan dekat anak tangga. Tangga itu menghubungkan pada ruangan di atasnya. Ya, inilah ruangan seminar itu.
”Ada bang Yus?”
Aku bertanya pada seorang laki-laki berkaca mata. Dia memegang beberapa lembar kertas di tangan kanannya.
Ia langsung menjawab.
”Ada. Mbak Dwi Syafriyanti, ya?”
Jawaban, sekaligus pertanyaan itu, kujawab dengan senyum dan ucapan terima kasih. Selanjutnya, aku bergegas memasuki ruangan seminar.
Ruangan itu sekira 10 kali 8 meter luasnya. Beberapa orang telah berkumpul di ruangan. Sebuah meja panjang dengan alas kain biru berada di tengah ruangan. Meja itu bagi pembicara seminar. Pada meja yang lain, ada Over Head Projector (OHP). Ini adalah benda yang berguna, untuk melihat bayangan gambar diapositif. Biasanya digunakan untuk presentasi. Sebuah kabel menghubungkan komputer jinjing ke OHP. Dari dua alat itulah, ditampilkan berbagai materi seminar ke layar.
Dari alat-alat itu, seorang lelaki sedang berbicara serius, sembari mengoperasikan komputer jinjing, guna mengatur tampilan gambar komputer jinjing ke OHP.
Puluhan kursi juga sudah tertata rapi di ruangan. Kursi sengaja ditata mengelilingi meja pembicara. Sebuah kipas angin berukuran sedang, mencoba membuat adem ruangan. Ia bergerak atraktif. Menebarkan angin. Seakan mencoba merayu dan meredam panas, pada sebuah siang yang begitu terik, khas Kota Khatulistiwa.
Tidak lebih dari lima menit, aku duduk dan berbaur dengan peserta seminar. Eh, lelaki berkaca mata itukan, yang baru saja aku tanya tempat berlangsungnya seminar. Ternyata, dia yang menjadi moderator seminar.
Seminar dibagi menjadi beberapa sesi itu. Selepas sesi itu, para peserta seminar didaulat makan siang. Aku yang baru sampai, karena harus menghadiri rapat, tak luput dalam ritual itu. Ditemani Yusriadi dan beberapa kenalan baru, kami memilih santap siang di luar ruang seminar. Sepoi-sepoi angin menambah nikmatnya sekotak nasi beserta lauk pauknya yang terhidang.
Makan siang usai dalam setengah jam. Tibalah sesi seminar berikutnya. Nur Iskandar, yang biasa kusapa Nuris, Pemimpin Redaksi (Pimred) Borneo Tribune, belum muncul. Padahal, dia salah satu pembicara seminar.
Aku melihat Yusriadi mulai gelisah. Ia berkali-kali menghubungi telepon genggam Nuris. Sahabatku itu super sibuk. Dia orang yang serius menjalankan tugas dan tanggung jawab. Yusriadi paham betul hal itu.
Seminar reguler itu bertema, ”Resolusi Konflik Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal”. Ini hari yang kedua. Ada 19 pembicara. Aku, Nuris, dan beberapa mahasiswa yang aktif di lembaga pers kampus, menjadi pembicara pada sesi terakhir.
Aku sengaja minta Yusriadi, supaya mengatur jadwal sebagai pembicara pada siang hari. Nuris pembicara terakhir. Dia datang setelah dua pembicara lainnya, menyelesaikan presentasi. Nuris berkesempatan mendengarkan presentasi makalahku. Aku sudah mendiskusikan makalah itu dengannya.
Makalah kubuat singkat. Sekalipun aku berbicara dalam kapasitas di Tribune Institute, tapi selaku praktisi hukum, aku lebih suka berbicara dari perspektif hukum. Betapa aku mengagumi pendapat para ahli sosiologi hukum, terutama Prof. Sacipto Rahardjo. Judul makalahku, ”Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam sebagai Upaya Menerjemahkan Keadilan Sosial.”
Dua jam berlalu. Namun, diskusi masih saja berlangsung hangat, ditengah cuaca sore yang mulai teduh. Aku menikmati suasana seminar itu. Aku dan Nuris, serta pembicara lain, silih berganti menjawab pertanyaan dari peserta. Waktu bergerak bagai roda gila. Cepat dan tak terasa.
Tiba-tiba, keasyikan seminar terhenti. Adzan salat Ashar bergema. Ruangan menjadi hening. Kami terdiam.
Selepas itu, Yusriadi bergerak menuju meja panjang di tengah ruangan. Ia bergabung dengan pembicara lain. Seraya menenteng komputer jinjing warna hitamnya, ia mulai menyimpulkan hasil seminar reguler yang diselenggarakan dua hari tersebut.
Dia menutup seminar. Tepuk tangan bergemuruh. Seisi ruangan seakan terasa sesak oleh bunyi tepuk tangan yang seakan tak ada putusnya. Sebelum acara ditutup, Yusriadi mengingatkan pada semua pembicara, agar menyelesaikan makalah, karena akan dihimpun menjadi buku.
Hemmm, pengalaman akademik yang menarik. Sangat Berkesan. Terima kasih untuk undangannya, Sobat.(Publish in Harian Borneo Tibune 3 dan 4 December 2008)
0 komentar:
Post a Comment