MENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM PERS
Rosalinda
Borneo Tribune, Pontianak
Di era reformasi salah satu tuntutan masyarakat adalah menegakkan supremasi yang menjadikan hukum sebagai panglima. Orientasi impletasi penegak hukum (law enforcement) secara tegas dan konsisten dan setiap pelanggaran harus diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku.
Itulah isu strategis yang dikupas dalam workshop aparatur berspektif pers, Sabtu (28/2), di Hotel Gajahmada Pontianak.
Sudah sepuluh tahun perjalanan reformasi, namun demokratisasi dan transparansi masih jauh dari harapan bersama. Salah satu tuntutan masyarakat bahwa agenda yang harus dilaksanakan adalah penegakkan supremasi hukum. Menegakan supremasi hukum yaitu menempatkan hukum sebagai patokan tertinggi (panglima) dalam tingkah laku kehidupn masyarakat, bebangsa dan bernegara.
Artinya masyarakat kekuasaan pemerintah dan negara untuk tunnduk pada hukum tanpa adanya diskriminatif dan segala permasalahan hukum wajib diselesaikan melalui prosedur hukum yang berlaku. Menegakkan supremasi hukum adalah melaksanakan penegakan hukum secara tegas konsekuen dan konsisten dalam segala bentuk permasalahan hukum baik hukum pidana maupun hukum perdata.
Peran dan keberadaan pers dalam menegakan supermasi hukum di era reformasi. Artidjo Alkostar, dalam makalahnya mengatakan keberadaan pers sejatinya merupakan kebutuhan asasi setiap insan dan komunitas masyarakat, karena dengan adanya pers masyarakat dapat memperoleh informasi, melakukan kontrol sosial dan menyatakan pendapatnya.
Dengan demikian keberadaan pers berkorelasi dengan penegakan HAM, akan mencegah timbulnya pratik ketidakadilan dalam kehidupan politik, ekonomi dan hukum. Ketidakadilan, penyalahgunaan kekuasaan, korupsi dan segala benntuk kejahatan akan selalu memperlemah dan merugikakn masyarakat dan negara. Kuatnya kontrol sosial pers akan mempererat kohesi sosial masyarakat Indonesia yang majemuk dalam etnis dan plural dalam agama.
Untuk menegakkan keadilan dan kebenaran menuju kesejahteraan umum, dan mencerdaskakn kehidupan bangsa. Dari landasan ini lahirnya UU Pers No. 40 Tahun 1999, terlihat bahwa keberadaan pers yang bebas, merupakan kebutuhan asasi dalam suatu negara demokrasi. Merawat demokrasi yang telah dicapai setelah Orde Baru merupakan kewajiban asasi segenap komponen bangsa.
Berdasarkan surat edaran MA tanggal 30 Desember 2008, bagi pelindungan pers, Atmakusumah Astraatmadja, mengatakan, bahwa inti edaran itu hanya dua alenia, yakni berupa anjuran kepada ketua pengadilan agar meminta keterangan saksi ahli dari Dewan Pers dalam memproses delik pers. Alsannya karena merekalah yang lebih mengetahui seluk beluk pers tersebut secara teori dan praktik.
Dengan demikian meminta kesaksian ahli di bidang pers dari Dewan Pers, MA berharap akan memperolah gambaran objektif tentang ketentuan yang berhubungan UU pers. Walau sederhana, namun surat edaran ini mencerminkan prakarsa-prakarsa Dewan Pers selama ini untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti dan kedudukan pers sebagai tempat bagi semua pihak untuk menyampaikan aspirasi.
Untuk itulah peran aparat hukum dalam perselisihan pers sangat diperlukakan, menurut Bayu Wicaksono, sejak tahun 2003, tepatnya selesai perselisihan pemberitaan antara Majalah Tempo dengan pengusaha Tomy Winata, perselisihan pemberitaan marak di seantero Nusantara. Perselisihan ini adalah hukum pidana dan perdata, sehingga peran penegak hukum (Hakim, Kejaksaan dan Kepolisian) sangat vital. Mereka tidak hanya berperan dalam law enfforcement tetapi juga dalam memberikan penyadaran akan pentingnya menegakkan supremasi hukun.
Untuk itu, para penegak hukum harus mengerti benar bagaiman menempatkan pers sebagai pilar demokrasi. Sebagai konsekuensinya, penegak hukum harus menjaga kebebasan pers dengan pendekatan UU Pers dalam menyelesaikan sengketa pers. Karenanya diperlukan keahlian (skill) dan kemauan (will) serta cara pandang yang sama dalam menghadapi persoalan pers.
Menurut Bayu, ada tiga hal yang biasa terjadi dalam masalah pers. Kekerasan fisik, gugatan perdata, dan pidana. Bila sebelumnya orang lebih sering menggunakan kekerasan fisik ketika mereka berhadapan dengan pers.
”Tren kekerasan fisik naik menjelang Pemilu. Kini masyarakat lebih banyak menggunakan aparat hukum dan menggunakan aparat, untuk memojokkan pers,” kata Bayu.
Repotnya lagi, ketika membuat BAP, mekanisme hak jawab tidak dilakukan. Aparat menganggap mereka punya Protap sendiri. ”Nah, begitu sampai di pengadilan, biasanya kasus itu tak bisa dilanjutkan, karena hal itu dianggap tak lengkap,” kata Bayu.
1 komentar:
MENGGUGAT PUTUSAN SESAT HAKIM BEJAT
Putusan PN. Jkt. Pst No.Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No.13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan. Padahal di samping tidak memiliki Seritifikat Jaminan Fidusia, Pelaku Usaha/Tergugat (PT. Tunas Financindo Sarana) terindikasi melakukan suap di Polda Jateng.
Ajaib. Di zaman terbuka ini masih ada saja hakim yang berlagak 'bodoh', lalu seenaknya membodohi dan menyesatkan masyarakat, sambil berlindung di bawah 'dokumen dan rahasia negara'.
Statemen "Hukum negara Indonesia berdiri diatas pondasi suap" (KAI) dan "Ratusan rekening liar terbanyak dimiliki oknum-oknum MA" (KPK); adalah bukti nyata moral sebagian hakim negara ini sudah terlampau sesat dan bejat. Dan nekatnya hakim bejat ini menyesatkan masyarakat konsumen Indonesia ini tentu berdasarkan asumsi bahwa masyarakat akan "trimo" terhadap putusan tersebut.
Keadaan ini tentu tidak boleh dibiarkan saja. Masyarakat konsumen yang sangat dirugikan mestinya mengajukan "Perlawanan Pihak Ketiga" untuk menelanjangi kebusukan peradilan ini.
Siapa yang akan mulai??
David
HP. (0274)9345675
Post a Comment