“Di Perkosa Harga”
By Dwi 15 Juli 2009
Judul tulisanku kali ini agaknya tidak biasa memang, tapi ini adalah ungkapan seorang tukang telur ayam di sebuah pasar kecil, jalan Purnama, dekat dengan komplek rumahku.
Agenda belanja pagi dengan ibuku hari ini adalah mencari beberapa keperluan untuk membuat soto, terutama daun jeruk purut yang tidak didapat pada warung langgananku, sehingga aku dan ibuku menuju pasar Purnama. Setelah membeli ayam yang harganya lebih mahal beberapa ribu rupiah dari biasa, aku dan ibu menuju kios sayuran, penjual menyarankanku meletakkan semua belanjaanku di satu tempat karena dia masih sibuk melayani pembeli lain. Sehingga kentang, kecambah, seledri, tomat, cabe, bawang putih, bawang merah, kunyit, jahe, keminting, daun jeruk purut, serta beberapa bumbu lain kutumpukkan sekenanya di atas gunungan kunyit.
“Mbak udah selesai neh”
panggilku pada perempuan penjual yang masih muda itu,
“Ya mbak”
jawabnya sembari mengambil plastik untuk membungkus belanjaanku.
Dari beberapa jenis belanjaaanku dia cukup memperkirakan harganya tanpa menimbangnya, tapi pada saat akan menimbang kentang dia berkata, mungkin sekedar menenangkanku jika kaget nantinya.
“Nah, kentangnya udah naik ya mbak, jadi 9.000.00,- /kg biasanya 6.000.00,-/kg
“Oh ya”, jawabku biasa.
“Trus tomat juga mbak…” tak terlalu terdengar jelas berapa kenaikkannya, suara sang penjual sayur tertelan hiruk pikuk pasar.
Ibuku mengingatkanku untuk membeli telur ayam karena itu adalah bahan terpenting untuk kelengkapan soto. Maka kami pun menuju kios dengan tumpukkan telur yang tak terlalu jauh dari kios sayur ini.
Seperti biasa penjual sengaja membuat pemisahan butir telur dengan ukuran yang berbeda, untuk menentukan harga.
Kalimat tanya klasik di pasar meluncur laju dari mulutku pada tukang telur
“Berapa harga telur ini Pak?” tumpukkan tengah ini memang lebih besar dari yang berada di sebelah kiri-kanannya.
“1.200,-!” jawab Si tukang telur.
“yang ini?” tunjukku pada tumpukan yang lebih kecil di sebelah kiri.
“1.000,-“
Sementara yang kanan ada tulisan di kertas tebal warna coklat: 1.150,- sehingga aku tidak perlu bertanya lagi dengan tukang telur itu.
“Wah! Kok mahal sekali Pak?”
“Itulah mbak.” Jawabnya.
“oo-,!” komentarku
”Iya Mbak kami neh diperkosa harga”
Aku sempat tersentak saat asik memilih telur yang akan kubeli, karena rasanya harga mahal sering terdengar tapi istilah diperkosa harga rasanya baru ku dengar..
“Hehe..Bapak nih hebat juga cari istilah” kataku sedikit geli..
“ ya, sebab kami merasa sangat terpaksa dengan harga itu, kadang-kadang tak tega bilang dengan pembeli, tapi mau apa lagi…” ungkapan jujur terasa mengalir dari mulut sang penjual telur, terlihat dari mimik wajahnya yang sedikit gusar.
Sekembali dari pasar, aku menuju ke dapur untuk meletakkan semua belanjaan, sedikit sarapan dengan kue kue yang ku beli tadi. Kusempatkan untuk membantu ibu membereskan belanjaan sambil menyiapkan bahan-bahan masakan sebelum aku pergi ke kantor.
Sambil mengupas dan mengiris kentang, pikiranku kembali pada tukang telur, “diperkosa harga!” emm..ungkapan spontan yang mengandung kedalaman makna akan sebuah keterpaksaan.
Dalam benakku harga melambung tinggi, bagaimana dengan daya beli masyarakat menengah ke bawah atau kaum miskin yang akan kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari, soal mencukupi gizi anak-anakpun mungkin tak dipikirkan lagi. Lalu berapa banyak lagi anak-anak dari kaum miskin yang akan kekurangan gizi, padahal mereka bagian dari generasi penerus bangsa yang harus mendapatkan tumbuh kembang yang wajar termasuk memperoleh asupan gizi yang cukup.
Bicara soal harga dalam persfektif ekonomi tentunya tidak terlalu aneh jika terus meningkat, tapi bukankan negeri ini punya pemimpin, bahkan baru usai berpesta dengan tajuk “Pemilu”, mari kita lihat seberapa mampu mereka mengurus negeri ini, agar tidak ada lagi pemerkosaan yang dimaksud oleh si tukang telur.
0 komentar:
Post a Comment