Monday, July 6, 2009

Hentikan Penyelewengan Atas Gagasan akan Sebuah Keadilan

by: Dwi.S

Tahun ini, anak tertua yang sekarang sudah menjadi satu-satunya anak bagi Yuni dan suaminya itu akan menginjak bangku SMP, namun Yuni masih enggan melepas buah hatinya itu untuk tidur sendirian di malam hari, sebab dia akan tenang jika terjaga dari tidur apabila saat sang anak tercinta berada dalam dekapan. Yuni mengaku semua itu dilakukannya karena masih trauma dengan kepergian bayi mungilnya beberapa tahun yang lalu, anak keduanya yang lahir dalam keadaan sehat tersebut meninggal setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit dengan tubuh membiru.

Sebelumnya bayi perempuan itu sakit, setelah diperiksakan ke seorang dokter Yuni mendapat resep yang harus ditebus. Suami Yuni yang bertugas mengambil obat di apotek tidak pernah sadar bahwa ada salah satu jenis obat yang tidak sesuai dengan resep dokter. Dengan kata lain telah diganti oleh petugas apotek tersebut tanpa sepengetahuan dokter yang mengeluarkan resep. Dokter yang sama tercengang ketika Yuni kembali membawa bayinya dalam keadaan kritis.
Saat diperlihatkan obat yang diganti tanpa sepengetahuan dokter, ternyata diketahui bahwa yang diganti tersebut tidak sesuai peruntukannya, karena obat tersebut adalah obat asma sementara anak Yuni diagnosis dokter menderita radang tenggorokan.
Berdasarkan klasifikasinya obat tersebut adalah obat keras bagi anak usia 7 tahun ke atas. Tak pelak bayi yang baru beberapa bulan tersebut harus mendapat perawatan di rumah sakit. Namun penanganan di rumah sakit ternyata tidak terlalu menolong, sang bayi terlanjur parah, maka bayi itu pun harus pergi buat selama-lamanya.

Tidak berlebihan rasanya apabila ada dugaan bahwa si bayi ini meninggal karena obat yang diberikan kepadanya tidak sesuai dengan kebutuhan sakit si bayi, terlebih masuk ke dalam kelompok obat keras untuk anak usia 7 tahun.
Yuni memang pernah membawa perkara ini ke jalur hukum selepas masa duka berlalu, yaitu beberapa bulan setelah meninggalnya bayi tersebut.
Sulit buat Yuni mendapatkan kepastian hukum yang sesungguhnya tentang apa yang terjadi pada bayinya. Diantaranya karena sulitnya pembuktian mengingat sang bayi telah dikubur.
Yuni tak tega jika anaknya harus diotopsi, tinggallah luka dan kesedihan bersemayan di hati Yuni, suami dan keluarganya. Tiada jawaban pasti penyebab kematian bayinya, selain menghibur diri pada suatu keyakinan bahwa semua sudah takdir Yang Maha Kuasa.

Kejadian yang menimpa Yuni adalah satu dari banyak kasus serupa berkaitan dengan pelayanan medis yang didapat pasien/konsumen dari tenaga medis, rumah sakit dengan seluruh perangkatnya termasuk apotek.
Tidak mudah buat orang awam beradu argumen dengan pihak rumah sakit, dokter atau tenaga medis lainnya soal dunia yang satu ini. Bahkan untuk mengenal istilah-istilah medis saja masih sulit, sehingga pada saat terjadinya akibat buruk pada pelayanan medis sekalipun pasien/konsumen membawanya ke jalur hukum tidaklah dengan mudah kepastian hukum itu didapat belum lagi soal benturan dengan kekuasaan.

Kasus Prita seolah menegaskan hal di atas. Fakta memperlihatkan kepada kita semua secara terang benderang sikap kritis dalam konteks curhat sekalipun tak urung menghadirkan kenyataan pahit.
Keluh kesahnya terhadap pelayanan sebuah rumah sakit tempat di mana dia pernah dirawat, ganjarannya tak alang kepalang, gugatan pidana, perdata sampai mendekam dalam tahanan dengan tuduhan penghinaan, fitnah dan pencemaran nama baik.

Tidak bermaksud latah atas respon dan tindakan semua orang terhadap kasus Prita, ratusan atau lebih komentar, uraian serta analisa sudah dilakukan berbagai pihak dengan perspektifnya masing-masing, termasuk pakar hukum, bahkan kalangan dokter sendiri. Demikan halnya dengan saya yang mungkin akan menambah panjang daftar pemerhati kasus ini terlebih saya yang mengikuti secara langsung kasus bayinya Yuni.

Mulanya Prita mungkin berpikir bahwa dia sudah hidup di negeri yang menjunjung tinggi HAM, ada kekebebasan mengemukakan pendapat dijamin di dalamnya dan demokrasi menjadi kebutuhan tapi toh kenyataannya Prita harus merasakan pengalaman pahit ditahan, diambil kebebasannya, dan harus berpisah dari dua anaknya yang masih kecil-kecil untuk sebuah tindakan yang belum bisa dikategorikan cukup alasan untuk menahan, secara obyektif apalagi secara subyektif.

Kelahiran Undang-undang Teknologi dan Transaksi Elektronik No 11 Tahun 2008 sejatinya adalah sebuah jawaban atas pesatnya kemajuan teknologi komunikasi dan informasi yang perlahan tapi pasti telah merubah pola-pola lama, orang menemukan cara baru untuk berkomunikasi juga bertransaksi. Dengan demikian demi mengatur serta melindungi penggunanya dari kejahatan internet termasuk transaksi elektronik yang marak maka Undang-undang menjadi kebutuhan yang tentunya tidak dikenal sebelumnnya oleh KUHP produk Belanda itu, namun penggunaan pasal 27 ayat (3) bagi kasus Prita atau kasus-kasus lainnya tentu tidak sesederhana itu.

Maka berkenaan dengan pencemaran nama baik selalu didalilkan sebagai perbuatan melawan hukum. Konsep melawan hukum adalah setiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau yang melanggar hak subyektif orang lain, serta melanggar kaidah yang tidak tertulis. Ini menunjukkan betapa luasnya rumusan perbuatan melawan hukum, dengan sendirinya memberikan keleluasaan bagi aparat penegak hukum menafsirkannya, namun, meminjam istilah Prof. Dr. Satjipto Rahardjo jangan sampai terjadi penyelewengan atas gagasan akan sebuah keadilan.

Menurut Prof. Esmi Wirassih, SH., MA, dalam artikelnya berjudul Sosiologi Hukum yang Kontemplatif, bahwa eksistensi tatanan yang berfungsi mengatur perilaku manusia yang semula hanya berasal dari agama dan kebiasaan (tidak tertulis), pada perkembangan selanjutnya terutama di saat muncul konsep negara maka tatanan yang tertulis berupa hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dari sebuah negara dan dalam aplikasinya sering disebut sebagai peraturan perundang-undangan, bersifat universal dan berlaku umum menjadi penting adanya yang berfungsi sebagai : - standard of conduct (sandaran atau ukuran tingkah laku yang harus ditaati oleh setiap orang dalam bertindak dan melakukan hubungan dengan yang lain; as a tool of social engeneering -- sebagai sarana atau alat untuk mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik, baik secara pribadi maupun dalam kehidupan bermasyarakat; as a tool of social control -- sebagai alat untuk mengontrol tingkah laku dan perbuatan manusia untuk selalu patuh pada pada norma hukum, agama dan susila; as a facility on of human interaction -- tidak hanya untuk menciptakan ketertiban, tetapi juga menciptakan perubahan masyarakat dengan cara memperlancar proses interaksi sosial dan diharapkan menjadi pendorong untuk menimbulkan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain tatanan tertulis pada hakikatnya bertujuan untuk mencapai ketertiban/keteraturan agar berbagai kepentingan dapat diintegrasikan untuk kepentingan manusia pada umumnya.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka setiap orang akan tercengang dengan apa yang menimpa Prita, dan apa yang terjadi ini pun dengan sendirinya menggunggah orang kembali untuk melihat apakah hukum itu dibuat untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat atau dia hanya akan menjadi instrument balas dendam bagi pihak-pihak tertentu. Rasanya tidak berlebihan jika DPR pun berpikir untuk menelaah ulang undang-undang tersebut. Selanjutnya tidaklah berlebihan apabila Ifdhal Kasim dalam artikelnya ”PEMBEBASAN HUKUM” menganggap bahwa hukum adalah institusi yang paling porak poranda saat ini. Daya tariknya sebagai institusi pemberi jaminan atas keadilan sudah lenyap sama sekali dalam alam kesadaran manusia Indonesia dewasa ini, adalah pernyataan yang bukan dilontar tanpa dasar bahkan dapat dideskripsikan secara gamblang oleh siapapun.

Kasus Prita seakan menggugah keinginan kita untuk mempertanyakan kembali komitmen negeri ini dalam penegakan hukum juga termasuk dalam berdemokrasi. Seluruh perhatian orang tak kurang tercurah untuk Prita di tengah hiruk pikuk pesta demokrasi guna memilih presiden, bahkan ia menjadi stimulan bagi pihak-pihak yang dulunya ragu serta takut untuk melakukan kritik, protes bahkan tuntutan terhadap pelayanan medis yang mereka terima selama ini.

Dalam hal ini yang terpenting adalah jadikan komunikasi sebagai jembatan jalinan hubungan yang baik antara dokter, tenaga medis lainnya, maupun pihak rumah sakit, agar segalanya lebih profesional, maka tidak akan sulit menciptakan pelayanan yang baik. Sikap kritis konsumen/pasien pun hendaknya tetap menjunjung kesopanan dan kesantunan masyarakat, pilihan kata dan kalimat dalam surat pembaca atau konteks protes dengan media apapun dilakukan dengan bijak. Bahkan saat ini kita bisa temukan kursus membuat surat pembaca dengan tujuan agar kepentingan pembuatannya terpenuhi termasuk bisa mewakili kepentingan masyarakat lain. Selain itu tentu saja menjadi bagian dari upaya kita untuk senantiasa mengingatkan dalam konteks membangun profesionalisme pihak-pihak terkait.

Tentunya akan bijak apabila kasus Prita ini tidak membuat kita apriori dengan dunia medis di Indonesia, masih ada sesungguhnya dokter yang bekerja secara profesional, bersungguh-sungguh mendedikasikan hidupnya untuk menolong orang, memegang teguh kode etiknya, dan lihatlah berapa banyak tenaga medis yang bertebaran di pulau-pulau kecil dan daerah tertinggal lainnya. Sejatinya dokter bekerja tidak hanya dengan stateskop tapi juga dengan hatinya. Demikian juga halnya dengan profesional hukum yang bekerja dengan UU hendaknya senantiasa berpegang teguh pada kebenaran.

0 komentar:

About This Blog

About This Blog

  © Blogger template 'Contemplation' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP