Mewujudkan Kepastian Hukum Dalam Pengadilan Hubungan Industrial
Dwi-06
Kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial memang sudah memasuki usia tahun ke-3, bukanlah pertanda untuk berhenti dalam memberikan perhatian lebih bagi terwujudnya kepastian hukum baik bagi pemberi kerja maupun pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial yang timbul dari hubungan industrial antara mereka
Dalam dunia ketenagakerjaan terdapat hubungan yang disebut sebagai Hubungan Industrial sebagaimana yang termuat dalam Pasal 1 ayat (16) Undang-undang Nomor: 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yaitu : “Hubungan Industrial adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur Pengusaha, Pekerja/Buruh, dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Merujuk isi ketentuan pasal tersebut di atas, maka pada prinsipnya dalam setiap perusahaan berlangsung hubungan di antara Pemberi Kerja dengan pekerja/buruh, yang baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama bertugas menggelola, menangani faktor-faktor produksi lainnya, dan tentu saja kedua pihak sama-sama terlibat langsung dalam proses produksi pembuatan barang dan jasa.
Keberadaan Pengadilan Hubungan Industrial semakin mempertegas bahwa lembaga yang disebut sebagai Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) maupun Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) telah berakhir dan tidak berlaku lagi dalam setiap penyelesian perselisihan hubungan industrial yang timbul dari hubungan industrial antara pemberi kerja dengan pekerja/buruh.
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4P) yang sebelumnya ada dianggap sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat terutama bagi kaum pekerja/buruh dalam mencari keadilan serta mendapatkan kepastian hukum, putusan yang dikeluarkannya hanya merupakan keputusan administrasi saja sebagaimana yang disyaratkan oleh ketentuan UU No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Perusahaan Swasta, sehingga memilih Peradilan Tata Usaha Negara dalam upaya hukum berikutnya menjadi alternative ketika, dan proses hukum ini tentu saja memerlukan jangka waktu panjang bagi terwujudnya kepastian hukum yang diharapkan semua pihak terutama kaum pekerja/buruh.
Sedangkan dalam Pengadilan Hubungan Industrial sekalipun hukum acara yang berlaku pada umumnya adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun demi efektifitas serta efesiensi waktu bagi kepastian hukum dalam dunia ketenagakerjaan terdapat hal-hal yang diatur secara khusus dalam undang-undang ini, salah satunya adalah masalah tenggang waktu pemeriksaan sampai putusan yang sangat singkat, biaya perkara yang nihil, keberadaan Hakim Ad hoc serta kekhususan lainnya yang tidak lain demi terwujudnya efesiensi waktu dan terwujudnya kepastian hukum bagi pencari keadilan dalam dunia ketenagakerjaan.
Hal ini juga tercermin dari pengadilan hubungan industrial tidak mengenal upaya banding, hal tersebut guna mempercepat putusan peradilan hubungan industrial, walaupun terhadap perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja dan Kepentingan Hak dapat menggunakan upaya hukum Kasasi.
Selanjutnya setelah adanya putusan pengadilan hubungan Industrial yang berkekuatan hukum tetap, maka eksekusi dapat langsung dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan hal ini berbeda dengan apa yang disyaratkan oleh Undang-Undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di perusahaan swasta, dimana pelaksanaan eksekusi adalah merupakan tanggungjawab bagian pengawasan Dinas Ketenagakerjaan.
Dengan demikian kehadiran Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang Nomor: 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial adalah merupakan wujud dari cita-cita terhadap adanya suatu institusi dan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil, dan murah sehingga terwujudnya kepastian hukum bagi setiap pihak yang mencari keadilan dalam dunia ketenagakerjaan diharapkan dapat menjadi nyata adanya
1 komentar:
WAKIL TUHAN ITU BERNAMA SUBARYANTO,SH.
Profesi hakim sering diidentikkan dengan wakil Tuhan di bumi ini. Namun jika putusan-putusan
sang hakim sering dan sangat jauh dari rasa keadilan masyarakat banyak, maka perlu
dipertanyakan lagi - tuhan yang mana yang diwakili oleh sang hakim tersebut? Mari kita
tinjau sepak terjang dari salah satu 'wakil tuhan' ini.
Namanya Subaryanto, SH. Jabatan terakhir yang dipegang saat ini adalah Kepala PN. Pontianak.
Track record ybs ini rupanya sangat fenomenal juga, antara lain coba kita urai satu per
satu.
Pada tahun 2005, ybs telah memvonis bebas atas 12 anggota DPRD terhadap tuntutan korupsi
APBD Singkawang TA. 2003. Materi yang diperkarakan adalah seputar besarnya premi asuransi
anggota DPRD Singkawang yang jumlahnya mencapai Rp. 1,9 M. Kita jadi bertanya-tanya, premi
1,9 M itu untuk jaminan pertanggungan seperti apa ya?
Pada tahun 2006, di PN. Solo, si Subaryanto, SH. telah membebaskan tergugat PT. Tunas
Financindo Sarana atas tuntutan konsumen yang dirugikan. Hebatnya, sang hakim menolak
gugatan karena menganggap bahwa yang dilakukan tergugat adalah telah sesuai dengan yang
diperjanjikan semula, yang notabene adalah klausula baku yang diharamkan oleh UUPK No. 8
Thn. 1999. Sang hakim ini juga tidak perduli jika dalam kasus ini tergugat telah 'memaksa'
konsumen membayar suap pengurusan surat sejumlah Rp. 5,4 jt di Polda Jateng.
Penghujung 2008 Indonesian Corruption Watch melaporkan 58 oknum hakim bermasalah, khususnya
dalam perkara illegal logging. Coba tebak, ternyata sang wakil tuhan ini, Subaryanto, SH
termasuk salah satu dalam daftar hakim bermasalah tersebut. Oleh ICW, hakim-hakim ini
dianggap sengaja membuat kesalahan dalam vonis. Ironisnya lagi, mereka justru mendapatkan
reward/promosi dari institusi Mahkamah Agung.
Awal tahun 2009, pada kasus trafficking dengan pelaku Sumiati, Subaryanto,SH kembali
menggebrak dengan putusan hebohnya. Sumiati yang telah dikejar dan diincar oleh JPU yang
bekerja sama dengan anggota masyarakat dan telah masuk dalam DPO/59/V/2007 di Polda Kalbar,
diputus bebas oleh sang wakil tuhan ini. Padahal dua orang rekan kerja Sumiati telah diputus
bersalah dan telah menghuni penjara selama 2,2 tahun.
Benang merah dari keseluruhan kasus diatas adalah : suap. Tidak membutuhkan pendidikan
tinggi untuk mencium aroma tidak busuk ini. Namun di negara ini, putusan hakim adalah mutlak
dan menjadi rahasia negara. Karena sifatnya itu maka tidak seorang atau institusi manapun
yang berani mempersoalkannya. Persoalannya adalah apabila putusan itu terasa sangat jauh
dari rasa keadilan masyarakat. Lebih celaka lagi bilamana praktik-praktik semacam ini telah
terstruktur mapan dalam lembaga peradilan kita, mulai dari PN hingga ke MA. Rejeki berjamaah
istilah kerennya. Lantas apakah harus dibiarkan terus menerus terjadi?
Garda terakhir rasa keadilan kini berada di tangan Mahkamah Konstitusi. Masyarakat sangat
mengharapkan agar institusi ini mampu berperan sesuai peruntukannya, demi mencegah arogansi
dan anarkisme masyarakat terhadap peradilan (yang tampaknya mulai menjadi trend) di negeri
ini. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa kesabaran masyarakat terhadap institusi peradilan,
sudah sangat menipis. Akhirnya, tidak ada salahnya jika MK bersedia meninjau kembali setiap
putusan yang dibuat oleh hakim-hakim bermasalah, khususnya atas putusan hakim Subaryanto, SH
ini. Syukur-syukur bila keputusan-keputusan hakim tersebut dianulir, sekaligus dibuat
keputusan baru yang lebih memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum.
Masyarakat sedang menunggu. Silahkan pak Mahfud.... !!!
Post a Comment