CATATAN YANG TERTUNDA
Agust 07
Dengan bangga Nuris memperlihatkan sebuah gorden yang tergantung di balik sebuah jendela besar. Ukuran kain warna pink tanpa motif itu ternyata tidak lebih panjang dari jendelanya, gordennya pendek!
”ini gordennya kependekan, mbak Dwi...”
Tiba-tiba ada sesuatu yang tak terbendung, bening, mengalir...
Mering dan Nuris diam, suasana hening
***
Ini adalah sepotong kisah yang ingin kutulis setahun yang lalu, tentang suatu siang di ruko milik pak Wito di jalan Gajah Mada Pontianak, tepatnya pasar Flamboyan, ”tradisional market”, kata Dorina sahabat Jermanku.
Layaknya sebuah pasar tradisional, pasar ini menyediakan hampir semua kebutuhan hidup, sebut saja sembako, sayur mayur, ikan, udang, daging, ayam, tahu-tempe, buah-buahan, tak terkecuali panganan tradisional dengan mudah didapat.
Bahkan dari jenis panganan tradisional itu dengan mudah kita dapat menebak bahwa Pontianak dihuni oleh penduduknya yang heterogen, ada kue cucur kesukaan ibuku yang biasanya dibuat dan jual orang Madura, ada lemang kesukaan ibuku juga yang kebanyakan dijual orang Melayu, atau air tahu kesukaan adekku Catur yang dijual orang China serta banyak lagi panganan lain.
Dan becek disepanjang lorong yang menjadi pemisah lapak atau kios para penjual menegaskan bahwa ini adalah pasar rakyat. Kecuali ruko ini, karena berada tepat ditepi jalan Gajah Mada.
Yah, itu dulu adalah kantor pemasaran Harian Borneo Tribune, dan dengan alasan tertentu sekarang ruko itu tak lagi difungsikan untuk kantor pemasaran.
Menaiki tangga dari lantai dasar ke lantai berikutnya tidaklah sulit buatku. Pimred Borneo Tribune itu memanduku menuju salah satu ruangan yang berhadapan langsung dengan jalan Gajah Mada, Mering mengiringi di belakang...
Ada 2 buah meja dengan masing-masing kursi, posisinya berhadapan tapi agak menyerong. Di atas salah satu meja terdapat beberapa lembar kertas, Nuris menghidupkan kipas angin meredakan udara yang terasa begitu panas. Kuhamparkan pandangaku ke segala sudut ruangan yang berukuran tak kurang dari 3x4m itu.
Nuris menyentuh sebuah gorden berwarna pink yang berada di depan kaca jendela nako yang cukup besar itu, Nuris memperlihatkan usahanya menghidupkan suasana kantor dengan gorden yang mungkin dibawanya dari rumah itu.
”Ini gordennya kependekan mbak Wie..” ujar Nuris sambil tersenyum.
Karena memang untuk ukuran jendela yang panjang dan lebar di ruko ini, maka gorden itu masih menyisakan jarak sekitar 20cm bagian bawahnya, yang membuat celah tersendiri, tidak tertutupi karena memang gordennya kependekan.
Tiba-tiba air mataku mengalir, aku merasa sangat amat terharu dengan apa yang dilakukan sahabatku ini, gorden itu hanya contoh sederhana yang begitu mengena rasaku, karena sungguh tidak lah mudah membangun semangat bagi kawan-kawan lain atau mempertahankan semangat yang pernah ada bagi keberadaan sebuah koran harian yang baru didirikan “5 Enggang”.
Gorden kependekan itu adalah bukti kawan-kawanku ini berjuang keras ingin bangkit dan maju wujudkan mimpi, ia bukan hal penting tapi ia adalah bukti perjalanan.
Aku bersyukur bahwa sampai hari ini aku masih bersama mereka, aku ingin jadi saksi perjalanan sebuah sejarah besar yang tengah diukir di bumi borneo ini oleh Nuris, Mering, Dek, Tanto, Yus, Muklis, Budi, Aulia, Ukan, Maya, Hesty, Lina, Yanti, Pak Agus dan yang lainnya, terlebih Pak Suwito, supporter sejati..
GOOD LUCK all of U Guy….